Minggu, 31 Januari 2010

ASKEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)



I. Pengertian
Hiperplasia prostat jinak (benign prostatic hyperplasia) adalah pembesaran kelenjar periurethral yang mendesak jaringan prostat keperifer dan menjadi simpai bedah (pseudokapsul). BPH merupakan kelainan kedua tersering yang dijumpai pada lebih dari 50% pria berusia diatas 60 tahun.

II. Etiologi
Ada beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya hipertropi prostat antar lain :
1. Teori sel Stem ( Isaacs 1984,1987 )
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel yang mati.Keadaan ini disebut Steady State. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproli serasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar penuretral.
2. Teori Mc Neal ( 1987 )
Menurut Mc Neal pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dan spinater eksternal pada kedua sisi verumen tatum di zona periuretral.
3. Teori Di Hidro Testosteron ( DHT )
Testosteron yang diohasilkan oleh sel leyding jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron. Sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk serum.
Bendung hormon ( SBH ) sekitar 20 % testosteron berada dalam keadaan bebas dan testosteron bebas inilah yang memegang peranan peranan dalam proses terjadinya pembesaran prostat testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT heseplar kompleks yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan terjadinya sintyesis protein sehingga dapat terjadi profilikasi sel.

III. Manifestasi Klinik
Gejala klinik dapat berupa :
o Frekuensi berkemih bertambah
o Nocturia
o Kesulitan dalam memulai (hesitency) dan mengakhiri berkemih
o Miksi terputus (hermittency)
o Urine masih tetap menetes setelah selesai berkemih (terminal dribbling)
o Pancaran miksi menjadi lemah (poor stream)
o Rasa nyeri pada waktu berkemih (dysuria)
o Rasa belum puas setelah miksi
Gejala kilinis tersebut diatas dapat terbagi 4 grade yaitu :
1. Pada grade I (congestif)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan mulai mengedan.
b. Kalau miksi merasa tidak puas.
c. Urine keluar menetes dan puncuran lemah.
d. Nocturia.
e. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
f. Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal lambat laun terjadi varises akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding).
2. Pada Grade 2 (residual)
a. Bila miksi terasa panas
b. Nocturi bertambah berat
c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing
e. Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f. Nyeri pad daerah pinggang dan menjalar keginjal.
3. Pada grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradorsal
b. Incontinential paradorsal
4. Pada grade 4
a. Kandung kemih penuh.
b. Penderita merasa kesakitan.
c. Air kencing menetes secara periodik (overflow incontinential).
d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor kerena bendungan hebat.
e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi sekitar 40-41 C.
f. Kesadaran bisa menurun.
g. Selanjutnya penderita bisa koma

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4) derajat gradiasi sebagai berikut :
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine
I
II

III
IV Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba.
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah dicapai.
Batas atas prostat tidak dapat diraba < 50 ml 50 – 100 ml > 100 ml
Retensi urine total

IV. Pathofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan tekanan sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Prose kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjasi selama miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan hematuria, sistisis dan pielonefritis.

V. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologik seperti foto polos abdomen dan pielografi intravena.
2. USG transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography), untuk mengetahui pembesaran prostat, menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi lain (tumor, divertikel, batu).
3. Systokopi.
4. IVP
5. Urinalisa dan Kultur urine.

VI. Komplikasi
 Retensi Urine
 Perdarahan
 Perubahan VU; trabekulasi, divertikulasi.
 Infeksi saluran kemih akibat kateterisasi
 Hidroureter
 Hidronefrosis
 Cystisis, prostatitis, epididymitis, pyelonefritis.
 Hipertensi, Uremia
 Prolaps ani/rectum, hemorroid.
 Gagal ginjal

VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat berat-ringannya hipertrofi prostat.
1. Derajat I; biasanya belum membutuhkan tindakan pembedahan. Pengobatan konservatif yang dapat diberikan adalah penghambat adrenoreseptor alfa seperti; alfazosin, prazosin, dan terazosin.
2. Derajat II; merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan untuk dilakukan reseksi endoskopik melalui urethra (trans urethra resection).
3. Derajat III; pada derajat ini reseksi endoskopik dapat dilakukan secara terbuka. Pembedaahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikel, retropibik atau perineal.
4. Derajat IV; pada derajat ini tindakan pertama adalah membebaskan klien dari retensi urine total, dengan memasang kateter atau sistostomi. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan terbuka. Untuk klien dengan keadaan umum lemah dapat diberikan pengobatan konservatif yaitu penghambat adrenoreseptor daan obat antiandrogen.
Pengobatan invasif lainnya ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan kekelenjar prostat. Juga dapat digunakan cahaya laser yang disebut transurethral ultrasound guide laser induced prostatecthomy.

VIII. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Sirkulasi ; peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
2. Eliminasi ; penurunan kekuatan /dorangan aliran urine
keragu-raguan berkemih awal.
Ketidak mampuan mengosongkan kandung kemih
Nukturia, Disuria Dan Hematurioa
ISK berulang, riwayat batu (stetis urine)
Konstipasi
Massa pada dibawah abdomen.
Nyeri tekan kandung kemih
Hernia ingiunalis
3. Makanan dan Cairan; Anoreksia, mual, muntah, Penurunan berat badan.
4. Nyeri : Nyeri supra pubis, nyeri panggul,punggung bawah.
5. Kecemasan ; Demam
6. Seksualitas ; Takut incontunesia atau menetes selama hubungan seksual
Penurunan kontruksi ejakolansi
Pembesaran, nyeri tekan pada prostat.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontruksi dengan adekuat ditandai dengan frekuensi keraguan berkemih, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih, distensi kandung kemih.
2. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa , ditandai : keluhan nyeri meringis, gelisah.
3. Resiko kekurangan kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan tubuh secara tidak normal, seperti pendarahan melalui kateter, muntah.
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah di tandai: peningkatan tekanan,ketakutan, kekhawatiran.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakitnya ditandai: klien sering menanyakan tentang keadaan penyakitnya.

C. Intervensi/Rasional
o Gangguan eliminasi retensi berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekonpensasi otot destrusor.
Tujuan :
- Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba disertai kandung kemih.
- Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml dengan tak adanya tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 sampai 4 jam.
Rasional : meminimalkan retensi urine berlebihan pada kandung kemih.
2. Observasi aliran urine. Perhatikan ukuran dari kekuatan
Rasional: berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan piulihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu, jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan pengeluaran urine dan perubahan berat jenis.
Rasional: retensi urinr meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan bagian atas yang dapat mempengaruhi ginjal.
4. Anjurkan untuk minum air 3000 ml/hari
Rasional: peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
5. Lakukan kateterisasi dan perawatan parianal.
Rasional: menurunkan resiko infeksi asendens.
6. Kolaborasi pemberian Obat anti spasmodik, suoasitoria rektal, antibiotik
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih, sedangkan antibiotik untuk melawan infeksi.

o Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih,kolik ginjal,infeksi urinaria.
Tujuan :
- Melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Tampak rileks.
- Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
1. Kaji tingkat nyeri
Rasional: memberi informasi dalam keefektifan intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha dan keteter pada abdomen.
Rasional: mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal.
3. Pertahankan tirah baring.
Rasional: mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal.

o Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan drainase kandung kemih yang terlalu distensi secara kronik.
Tujuan :
- Mempertahankan hidrasi adekauat dibuktikan oleh tanda vitat stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik membran mukosa lembab.
Intervensi :
1. Awasi output cairan tiap jam dan catat pengeluaran urine
Rasional: diuresis cepat dapat mengakibatkan kekurangan volume total cairan karena tidak cukupnya jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
2. Anjurkan infek oral berdasarkan kebutuhan individu
Rasional: hemostatis, pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi hipopolemik
3. Awasi tekanan darah dan nadi obserfasi pengisian kafiler dan membran mukosa oral.
Rasional : deteksi dini adanya hipopolemik sistem
4. Kolaborasi pemerian cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional : pemberian cairan IV menggantikan cairan dan natrium yang hilang untuk mencegah / memperbaiki hipopolemik.

o Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan kemungkinan prosedur bedah.
Tujuan:
- Tampak rileks
- Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
- Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya pada pasien atau keluarganya selalu ada di dekat pasien.
Rasional: menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi contoh; kateter urine berdarah.
Rasional: membantu pasien maemahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi masalah kesehatan karena ketidaktahuan termasuk ketakutan akan kanker.
3. Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah.
Rasional: mendefenisikan masalah memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah.

o Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses pengobatan.
Tujuan:
- Menyatakan pemahaman proses penyakit.
- Berpartisipasi dalam proses pengobatan
Intervensi :
1. Kaji ulang proses penyakitb pengalaman pasien.
Rasional: memberikan dasar pengetahuan di mana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2. Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian.
Rasional: membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital.

D. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawaatan yanag telah disusun tersebut diatas.

E. Evaluasi
Tahap ini dilakukan dengan mengevaluasi tujuan yang telah dibuat, apakah tujuan pelaksanaan tindakan keperawatan telah mencapai kriteria hasil yang diharapkan.











DAFTAR PUSTAKA


1. Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

2. Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta.

3. Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.

4. Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997, Ilmu Bedah, Penerbit EGC, Jakarta.

5. Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.

6. Staf Pengajar Patologi Anatomi FKUI, 1993, Patologi, Jakarta.

ASKEP BRONCHOPNEUMONIA


BRONCHOPNEUMONIA

I.  KONSEP MEDIK

A.      Pengertian
Bronchopneumonea adalah radang pada paru-paru yang mempunyai penyebaran berbecak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2001).

B.     Etiologi
1.       Bakteri contohnya : Diplococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia.
2.       Virus contohnya : Virus Influenza, Virus Parainfluenza.
3.       Jamur contihnya : Histoplasma cospulatum, Caudida, Kriptococcus dan blastomises.

C.     Patofisiologi
Bakteri, virus ataupun jamur menyerang ventilasi maupun difusi.  Suatu reaksi influenza yang terjadi pada alveoli dan menghasilkan eksudat yang mengganggu gerakan dan difusi oksigen dan karbondioksida, sel-sel darah putih, neotrofil juga bermigrasi ke alveoli dan memenuhi ruang yang biasanya berisi udara.  Area paru tidak mendapat ventilasi yang cukup karena sekresi edema mukosa dan broncospasme menyebabkan okulusi partial bronki atau alveoli yang mengakibatkan penurunan tekanan oksigen alveoli.  Keadaan demikian mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen sehingga tubuh harus meningkatkan frekuensi ke dalam bernapasnya.





Penyimpangan KDM
Virus / Bakteri / Jamur
¯
Infeksi saluran pernapasan
¯
Peradangan pada sel pernapasan (Paru-paru)
¯
Migrasi lekosit, netrofil dan eksudat ke daeraj radang
¯
Peningkatan permeabilitas kapiler dan edema mukosa
¯
Peningkatan produksi mukus
¯
Akumulasi lendir di dalam napas
¯
Peningkatan frekuensi napas ¬  Obstrubsi saluran napas ®  perubahan irama dan                   
                                                                                                      jumlah pernapasan 
                  ¯                                                ¯                                            ¯
               sesak                              bersihan jalan napas                              pola
                                                       tidak efektif                        pernapasan tidak efektif
                                                                    
gangguan pertukaran gas       



                  ¯                           perubahan status kesehatan
perubahan fungsi                                        ¯
        pernapasan
                                                        kurang informasi
                 ¯                                    tentang penyakit
kebutuhan energi                                        ¯
         meningkat
                                                       stessor meningkat
                 ¯                                                ¯
intake tidak adekuat
                                                    koping tidak adekuat


kecemasan
                  ¯                                                ¯
         kelemahan                                          


intoleransi aktivitas
                  ¯
 

D.     Manifestasi klinik
v  Demam dan menggigil karena proses peradangan.
v  Nyeri dada yang terasa tertusuk-tusuk yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk.
v  Adanya bunyi tambahan pernapasan  seperti ronchi, whezing.
v  Napas sesak dan cepat
v  Tampak pernapasan cuping hidung
v  Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
v  Mungkin timbul tanda-tanda sianosis.
v  Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mokus yang menyebabkan atelektasis absorbsi.

E.     Komplikasi
v   Hipotensi dan syok
v   Atelektasis
v   Efusi pleura
v   Deliriu
v   Superinfeksi
F.      Perangkat Diagnostik
v   Pemeriksaan radiologi yaitu pada foto thoraks, konsolidasi satu atau beberapa lobus yang berbercak-bercak infiltrat
v   Pemeriksaan laboraturium di dadapati lekositosit antara 15000 sampai 40000 /mm3.
v   Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali apabila pasien mengalami imunodefiensi
G.     Penatalaksanan
v  Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicillin, gentamisin.
v  Inhalasi lembab dan hangat dapat menghilangkan iritasi broncia
v  Istirahat adekuat sampai klien menunjukan tanda-tandapenyembuhan.
v  Jika terjadi hipokscornia,berikan O2.
v  Teknik bernapas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi resiko atelektasis.

II.  PROSES KEPERAWATAN.
1.      Pengkajian
Pada pengkajian dengan pasien Bronkopnemonia maka harus diidentifikasi akan adanya demam, mengigil, dan adanya nyeri dada yang dicetuskan pada saat bernapas dan batuk,kaji akan adanya bunyi napas tambahan seperti ronchi, whezzing, apakah napasnya sesak dan cepat, apakah dalambernapas tampak pernapasan kuping hidung.Identifikasi akan adanya rasa lelah akibat peradeangan dan hipoksia periksa atau tanda-tanda sianosis yang mungkin timbul.
2.      Diagnosa Keperawatan
v  Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi lendir di jalan napas.
v  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan fungsi pernapasan
v  Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan
v  Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan
v  Kecemasan berhubung dengan kurangnya pengetahuan dengan penyakit yang terjadi
3.      Interfensi Keperawatan
1)       Diagnosa keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi lendir di jalan napas.
Tujuannya : menunjukan jalan napas yang efektif atau bersih
 Intervensi :
v   Kaji atau pantau pernapasan klien
Rasionalnya: Mengetahui frekuensi pernapasan klien sebagai indikasi dasar gangguan pernapasan.
v   Auskultasi bunyi napas tambahan
Rasionalnya: adanya bunyi napas tambahan yang menandakan                               gangguan pernapasan.
v   Berikan posisi yang nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasionalnya :   posisi semi fowler memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal
v    Terapi inhalasi dan latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasionalnya : mengeluarkan sekret.
v     Lakukan program pengobatan
Rasionalnya : memperbaiki pernapasan.
2)     Diagnosa keperawatan : pola napas tidak efektif berhubung dengan obstruksi saluran pernapasan.
Tujuannya : pola napas efektif
Interfensinya :
v  Berikan O2 sesuai program.
Rasionalnya : mempertahankan O2 arteri.
v  Kaji atau pantau frekuensi pernapasan
Rasionalnya : indikasi adanya gangguan pernapasan.
v   Berikan posisi semi fowler
Rasionalnya : meningkatkan pengembangan paru.
v   Bantu dalam terapi inhalasi
Rasionalnya : kemungkinan terjadi kesulitan bernapas akut.



3)     Diagnosa keperawatan : gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan.
Tujuannya : pertukaran gas menjadi adekuat.
Interfensi :
v  Monitor / kaji tanda-tanda vital, kesulitan bernapas, retraksi stomal.
Rasionalnya : data dasar untuk pengkajian lebih lanjut.
v  Alat emergensi harus tersedia dengan baik.
Rasionalnya : persiapan emergensi terjadinya masalah akut pernapasan.
v  Suction jika ada indikasi
Rasionalnya : meningkatkan pertukaran gas.
v  Berikan terapi inhalasi.
Rasionalnya : melonggarkan saluran pernapasan.
4)     Diagnosa keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan fungsi pernapasan.
Tujuannya : intoleransi aktivitas tertasi.
Interfensi :
v  Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat beraktivitas.
Rasionalnya : merencanakan intervensi yang tepat.
v  Bantu pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasionalnya : ADL-nya dapat terpenuhi.
v  Lakukan  istirahat yang adekuat setelah beraktivitas.
Rasionalnya : membantu mengembalikan energi.
v  Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.
Rasionalnya : metabolisme membutuhkan energi.
5)       Diagnosa keperawatan : kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang terjadi.
Tujuannya : kecemasannya teratasi.
Interfensi :
v  Kaji tingkat kecemasan.
Rasionalnya : mengetahui sejauh mana kecemasan yang di alalmi.
v  Berikan penjelasan tentang prosedur pengobatan dan penyakit yang sedang terjadi.
Rasionalnya : menghilangkan kecemasan karena ketidaktahuan.
v  Berikan ketenangan dengan memberikan lingkungan yang nyaman.
Rasionalnya: lingkungan yang nyaman membantu memfokuskan pikiran.
v  Lakukan hubungan yang lebih akrab dengan pasien.
Rasionalnya: menimbulkan kepercayaan dan pasien merasa nyaman.
v  Membantu pasien dalam kemampuan koping.
Rasionalnya : koping yang positif dapat menurunkan kecemasan.