Kamis, 11 Februari 2010

JUDUL SKRIPSI

1.Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penerapan asuhan keperawatan di RSUD Undata Palu.
2.Pengaruh metode based learning terhadap prestasi belajar peserta didik di pendidikan PAM Keperawatan (program anastesi) di Jakarta.
3.Penggunaan model latihan relaksasi bertahap dalam menanggulangi nyeri pada klien dengan fraktur di ruang Rawat Inap Orthopaedi RSUD Dr Soetomo Surabaya.
4.Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia yang rawat inap di RS Jiwa Jakarta tahun 1997/1998.
5.Pengaruh kebijakan otonomi daerah tingkat II terhadap manajemen Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
6.Upaya pengendalian mutu pelayanan bidan desa di Kabupaten Aceh Besar.
7.Pengaruh kebisingan industri penggergajian kayu (Sawmill) terhadap masyarakat sekitar di Kabupaten Pidie.
8.Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bidan di desa di Kabupaten Dati II Bojonegoro dan Nganjuk.
9.Pengaruh pendidikan seks terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja dalam mencegah penyakit menular seksual di Kotamadya Kendari.
10.Perbedaan efektivitas kompres dingin dengan kompres hangat dalam menurunkan suhu tubuh klien infeksi di Pusat Pelayanan Kesahatan Denpasar.
11.Prevalensi pertanda infeksi VHB pada keluarga penunggu pasien Hepatitis B di ruang penyakit dalam RSUP Denpasar.
12.Perilaku perawat dalam pencegahan resiko tertular HIV/AIDS di instalasi rawat darurat RSUP Sanglah Denpasar.
13.Studi komparatif efektivitas penggunaan minyak kelapa dan kamper spritus terhadap pencegahan decubitus di Rumah Sakit Umum Provinsi Bali.
14.Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya pertolongan persalinan oleh dukun di Kecamatan Panca Tengah Kabupaten Tasikmalaya.
15.Dampak tindakan isolasi proteksi terhadap aspek psikososial pasien kelainan darah di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta.
16.Penelitian dan pengembangan perilaku kesehatan ibu dan anak di daerah sub urban Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara 1 Tahun 1998 / 199998 Tahun 1997/1998

1.Peranan kepedulian keluarga untuk mempercepat penyembuhan pasien rawat inap di RSJ Palembang.
2.Meningkatkan peran keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita penyakit TB Paru dengan penyediaan modul keperawatan di rumah.
3.Efektivitas pembelajaran bagi dosen tetap mata kuliah keahlian (MKK) Akper h Depkes di Bandung dan Jakarta 1998/1999u
4.Pengembangan daftar pengungkap sumber stress dan proses koping bagi mahasiswa keperawatan Depkes (DAS) di Provinsi Jawa Barat.
5.Hubungan peran serta keluarga klien gangguan jiwa dengan lamanya hari rawat di RSJ Pusat Bogor.
6.Asuhan keperawatan pada usila dengan pendekatan proses keperawatan di Panti Wreda Mojopahit Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
7.Peningkatan kinerja layanan keperawatan melalui penugasan mandiri di RSUD Dr Saiful Anwar Malang.
8.Analisis akreditasi jabatan fungsional guru di lingkungan sekolah pendidikan kesehatan Depkes di Jawa Timur.
9.Efektivitas peran serta kader usila yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar.
10.Model upaya penanggulangan rokok dan alkohol di lapangan remaja melalui pendekatan tokoh agama pada Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja.
11.Studi tentang efektivitas metode mengajar di Akademi Perawat Kesehatan Kotamadya Kendari.
12.Studi evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan masyarakat pada penyakit TBC Paru di Puskesmas Kotamadya Palu.
13.Metode dan teknologi pelayanan asuhan keperawatan di Provinsi Timor Timur.

14. Model batuk efektif dalam upaya membersihkan jalan nafas pada pasien dengan penumpukan sekret akibat TBC Paru di RSUD Prof Dr. W.Z. Johannes Kupang.
15. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap penanggulangan diare pada keluarga yang mempunyai bayi di Wilayah DKI Jakarta. Tahun 1999 / 2000


1. Kompetensi bidan desa dalam melakukan ANC di tempat tugasnya.
2. Kemampuan perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik pada klien dengan kecemasan akibat Tuberkulosa Paru.
3. Tingkat kemampuan perawat lulusan D III dalam mengimplementasikan proses keperawatan
4. Pengaruh ide/keyakinan diri yang tidak rasional terhadap pola penyesuaian diri remaja.
5. Hubungan karies gigi pada anak sekolah (10-14 tahun) dengan air minum di Kecamatan Baiturahman Kotamadya Banda Aceh.
6. Hubungan latar pendidikan mahasiswa AKG dan prestasi belajar.
7. Deskriptif faktor-faktor yang berhubungan dengan minat siswa mengunjungi perpustakaan.
8. Mekanisme koping yang digunakan pada klien yang dilakukan hemodialisa.
9. Pengaruh program bermain untuk meningkatkan penurunan rasa nyeri pada anak pasca bedah.
10. Pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan klien DM dalam perawatan diri di rumah.
11. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penularan penyakit demam berdarah di Kotamadya Jambi.
12. Derajat karies gigi (DMF.T) dan derajat kebersihan mulut (OHI.S) anak usia 12-14 tahun di 6 Dati II Provinsi Jambi.
13. Korelasi kandungan magnesium, calcium dan fluorida pada air minum terhadap karies gigi siswa SD Kotamadya Jambi.
14. Perilaku orang tua dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit kecacingan pada anak SD di Dusun Talang Bungin Musi Banyuasin.
15. Pengaruh asuhan keperawatan terhadap peningkatan kemampuan keluarga merawat bayi (1-3 bulan) sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangan Kecamatan Seberang Ulu I.

16. Peran masyarakat dalam penanggulangan dini penyakit demam berdarah dengue di Kotamadya Palembang.
17. Pengaruh pendidikan kesehatan dan home visit terhadap pengendalian angka DO klien TBC Paru.
18. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam menerima pemulangan klien gangguan jiwa kronis.
19. Peran pedoman pembelajaran praktek klinik keperawatan dalam meningkatkan ketrampilan profesionalisme mahasiswa TK.III Semester genap D – III Keperawatan.
20. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan ibu Primi dalam merawat bayi.
21. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan kemandirian pasien dalam merawat kolostomi di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1999.
22. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan kemampuan keluarga dalam melakukan penanggulangan ISPA Non Pneumonia pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Matraman Jakarta Timur.
23. Pengaruh metode demonstrasi terhadap kemampuan menyuluh pra tindakan.
24. Pengaruh bermain terhadap kemampuan adaptasi sosial anak mental retardasi di SLB Dharma Asih RS Jiwa Pusat Jakarta.
25. Pengaruh mobilisasi dini terhadap kecepatan penyembuhan luka post operasi daerah perut di RSUD Kabupaten Tasikmalaya.
26. Pengaruh pendidikan kesehatan pasien pra bedah melalui video tape terhadap kemandirian pasien melakukan mobilisasi dini pada bedah di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung.
27. Pengaruh buku petunjuk dan manual prosedur terhadap kemampuan belajar mandiri dalam ketrampilan pemasangan NGT di laboratorium keperawatan bagi mahasiswa D- III Keperawatan di Kota Bandung.
28. Pengaruh pendidikan kesehatan melalui diskusi kelompok kecil terhadap kesembuhan TBC Paru di Wilayah Kabupaten Subang
29. Analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi di Kotamadya Bandung.
30. Studi tentang kompetensi tenaga lulusan SPK Pekalongan dengan masa kerja 1 tahun di instansi pemerintah maupun swasta di Kotamadya Pekalongan.
31. Dampak komunikasi perawat pada fase kerja dalam komunikasi terapeutik terhadap kepuasan pasien yang dirawat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
32. Efektivitas kompres boorwater dengan kompres betadin pada penyembuhan luka kotor pasien yang dirawat di Rumah Sakit.
33. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat usia lanjut di Kotamadya Semarang.
34. Pengaruh intervensi keperawatan (bimbingan bernafas dan relaksasi) sejak Kala I terhadap kekurangannya resiko persalinan.
35. Study hubungan faktor kemampuan, hubungan faktor kemampuan dan hubungan faktor kesempatan terhadap penampilan kerja perawat lulusan D III Keperawatan dalam menyusun rencana Keperawatan D I RSUD Bondowoso di RSUD Dr. Soebandi Jember Jawa Timur tahun 1999.
36. Uji aktivitas enzim pepsin dari cairan lambung pada bayi prematur dan bayi aterm.
37. Efektivitas metode penyuluhan proyeksi untuk meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat di Kabupaten Malang
38. Peranan Panti Werda dalam meningkatkan kemandirian Lansia (suatu studi analisis kualitatif).
39. Efektivitas dan kenyamanan tapid sponge bath dalam menurunkan febris dibandingkan dengan kompres dingin.
40. Pengaruh counter pressure dalam mengurangi nyeri persalinan pada ibu bersalin di empat Rumah Bersalin Kotamadya Malang tahun 1998.
41. Pengaruh kehadiran suami terhadap lamanya proses persalinan fisiologis.
42. Perbandingan sosial ekonomi, pengetahuan tentang GAKI dan pola konsumsi antara keluarga penderita dan bukan penderita GAKI.
43. Pengaruh layanan konseling sebelum operasi terhadap penurunan tingkat kecemasan klien untuk menunjang keberhasilan operasi.
44. Survei kinerja perawat dan survei persepsi klien terhadap peran pendidikan perawat pada pasien rawat inap di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
45. Upaya untuk mengurangi rasa takut murid SD pada saat dilakukan perawatan gigi oleh siswa.
46. Studi eksplorasi tentang manfaat air tajin untuk memperbanyak produksi ASI pada ibu pasca persalinan.
47. Dampak semiloka terhadap peningkatan peran keluarga dalam penanggulangan demam berdarah di desa Tegal Kerta tahun 1999.
48. Efektivitas kompres larutan fisiologis dalam menyembuhkan luka gangren pada klien gangguan vaskularisasi jaringan di RSU Denpasar.
49. Efektivitas perawatan luka steril di RSUP Sanglah Denpasar.
50. Pengembangan model terapi keluarga dalam mencegah terputusnya pengobatan pada klien TB-Paru di beberapa wilayah kerja Puskesmas Kotamadya Banjarmasin.
51. Assessment fungsi manajemen Puskesmas Pembantu di Provinsi Kalimantan Tengah.
52. Pengetahuan sikap dan perilaku remaja tentang penyakit AIDS pada sekolah menengah umum / kejuruan di provinisi Sulawesi Tengah.
53. Penilaian mutu keperawatan pada pasien tirah baring di RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Ujung Pandang.
54. Pola penggunaan waktu perawat untuk asuhan keperawatan di RS Ujung Pandang.
55. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan proses keperawatan di RS.
56. Pemanfaatan daun sirih terhadap penyakit gingivitas pada daerah terpencil.
57. Pengaruh asap kayu bakar terhadap resiko terjadinya ISPA pada bayi dan anak balita di Desa Comoro Kecamatan Dili Barat Kabupaten Deli. 58. Metode dan teknologi pelayanan asuhan keperawatan di Provinsi Timor Timur. Tahun 2000 / 2001

1. Koping yang sering digunakan ibu post partum primapara untuk mengatasi nyeri post episiotomi.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan di desa dalam peningkatan peran serta masyarakat di Kabupaten Aceh Timur.
3. Pengaruh penggunaan alat kontrasepsi terhadap Indeks Masa Tubuh (IMT) wanita Pasangan Usia Subur (PUS) di Kotamadya Banda Aceh.
4. Pengaruh terapan komunikasi terapeutik oleh perawat terhadap perubahan psikososial pasien yang dirawat di Rumah Sakit.
5. Penilaian pola pikir ibu post partum terhadap kinerja perawat dalam perawatan ibu hamil di Daerah Istimewa Aceh.
6. Pengaruh senam hamil dalam upaya menurunkan rasa nyeri pada kala I persalinan anak pertama dan kedua yang belum pernah melakukan pada anak pertama.
7. Pengaruh metoda tim terhadap tingkat kepuasan pasien akan asuhan keperawatan di RSUP H Adam Malik Medan.
8. Efektivitas pelaksanaan konseling KB terhadap ibu-ibu post partum yang sudah mempunyai anak dua atau lebih di RSU Dr M Djamil Padang.
9. Pengaruh tingkat pengetahuan ibu hamil tentang perawatan payudara selama periode ante natal terhadap pelaksanaan perawatan payudara di poliklinik RSU Dr. M Djamil Padang.
10. Deskriptif penerapan asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan mobilisasi dini pada pasien post operatif dengan narkose umum.
11. Pengaruh tingkat kerusakan sikat gigi terhadap kebersihan gigi dan mulut pada anak SD di desa tertinggal.
12. Asuhan keperawatan penderita kusta dalam mencegah kekambuhan luka di RS Kusta Sungai Kundur Kabupaten Musi Banyuasin.
13. Perilaku keluarga dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare pada anak usia 0 – 2 tahun di Kecamatan Ilir Barat II Palembang.
14. Pengaruh pemberian asuhan keperawatan keluarga terhadap peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat lansia dengan hipertensi.
15. Peran keperawatan keluarga dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit Ascariasis pada anak SD desa Lubuk Ampelas Muara Enim.
16. Efrektivitas tes psikologi pada seleksi penerimaan mahasiswa Akper Pemda Tk II Pangkal Pinang diukur dengan indeks prestasi.
17. Hubungan kumur-kumur larutan fluor dengan penurunan frekuensi karies pada gigi molar permanen pertama rahang bawah yang baru erupsi.
18. Analisis kecerdasan emosional perawat dalam pelaksanaan tugas-tugas keperawatan di RSUD M Yunus Bengkulu.
19. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan di RSUD Dr M Yunus Bengkulu.
20. Pemberdayaan perawat dan keluarga dalam perawatan klien TBC paru di Rumah Sakit.
21. Waktu pelaksanaan Bladder Training pada pemasangan kateter balon dengan klien stroke.
22. Pengaruh kedalaman selang WSD di bawah permukaan cairan botol dengan banyaknya cairan pada perawatan klien hemathoraks.
23. Model tindakan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pada klien pre operasi di RSU A Moeloek Bandar Lampung.
24. Peningkatan kemampuan ibu dalam merawat stoma pada bayi dengan pendekatan pendidikan kesehatan.
25. Pengaruh pelatihan manajemen terhadap pengetahuan sikap dan perilaku perawat dalam kerja tim di RSU Cipto Jakarta.
26. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien dengan spinal anastesi di RSUP Fatmawati dan RSUD Pasar Rebo Jakarta.
27. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan petugas kesehatan dalam pencegahan infeksi nosokomial luka operasi di kamar bedah RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
28. Perbedaan persepsi antara perawat dan keluarga terhadap kebutuhan perawatan rumah klien gangguan jiwa di RS Jiwa Pusat Bogor.
29. Hubungan antara penugasan mandiri di laboratorium keperawatan dengan kompetensi merawat luka bagi mahasiswa Akper di lahan praktek Rumah Sakit.
30. Pemberdayaan keluarga dalam memotivasi mobilitas lanjut usia melalui penyuluhan pada keluarga.
31. Memberdayakan klien dengan Diabetes Mellitus terhadap kepatuhan kontrol dan pengelolaan Diabetes Mellitus melalui penyuluhan di RS Hasan Sadikin Bandung.
32. Pemberdayaan keluarga dalam menstimulasi perkembangan anak usia 0 – 12 bulan melalui pedoman stimulasi perkembangan anak di wilayah kerja Puskesmas Pasir Kaliki Bandung.
33. Pemberdayaan keluarga melalui pengembangan model pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Bandung.
34. Efektivitas pasta gigi berfluor dibandingkan dengan topikal aplikasi fluor terhadap pencegahan karies gigi pada anak umur 11 –12 tahun di SD N Kecamatan Cibeureum Kabupaten Tasikmalaya.
35. Peranan perawat gigi di Puskesmas dalam pembinaan kader di posyandu untuk meningkatkan kesehatan gigi.
36. Pengaruh sinar ultra violet terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus (isolat klinik AKG Bandung)
37. Bentuk sentuhan yang efektif pada fase orientasi terhadap klien menarik diri di RS Jiwa.
38. Pengaruh penggunaan alat kontrasepsi dahak pada penderita tuberkulosis paru.
39. Efektivitas waktu penyuluhan pasien pre operasi yang direncanakan dalam mengurangi tingkat kecemasan pasien di RS
40. Efektivitas penggunaan air sirih dalam penyembuhan luka perineum pasca persalinan.
41. Pengaruh perawatan payudara antenatal terhadap inisiasi laktasi di Yogyakarta.
42. Pengaruh penggunaan skin traksi buatan sendiri terhadap askep pasien fraktur di RSU Prof. DR R.Soeharso Surakarta tahun 1999/2000.
43. Pengaruh pendidikan kesehatan tentang perawatan penyakit kepada pasien Ca Cervix terhadap (peningkatan) kemandirian.
44. Pengaruh pemberian terapi bermain terhadap penurunan kecemasan pada anak toddler di instalasi rawat inap II RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta.
45. Pengaruh penerapan model adaptasi di rumah secara bertahap penurunan frekuensi rawat ulang klien gangguan jiwa di RSJ D.I. Yogyakarta.
46. Pengaruh pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga melalui strategi dots terhadap angka konversi penderita TBC Paru di Kabupaten Banyuwangi tahun 2000
47. Sistim pakar untuk menegakkan diagnosa keperawatan dan alternatif intervensi keperawatan.
48. Survei pengetahuan dan sikap perawat Puskesmas terhadap asuhan keperawatan keluarga pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) di Kotamadya Surabaya.
49. Pengaruh rooming in terhadap tingkat kemandirian ibu primipara dalam merawat bayi baru lahir.
50. Perubahan perkembangan psikologi dan perilaku sosial pada anak usia prasekolah setelah menjalani rawat inap di RS (studi terhadap dampak hospitalisasi).
51. Hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan klien gangguan jiwa di rumah dan tingkat penerimaan keluarga terhadap klien dengan frekuensi kekambuhan.
52. Perbedaan metode penyuluhan proyeksi dibandingkan dengan metode ceramah dan tanya jawab untuk meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat di Kabupaten Malang.
53. Efektivitas "Morning Report" pengaruhnya terhadap kepuasan kerja perawat dan kepuasan pasien di RSSA Malang.
54. Uji aktifitas enzim pensin dari cairan lambung pada bayi premature dan bayi aterm.
55. Analisis faktor pengaruh antara sifat cemas dan keadaan cemas dengan intensitas nyeri pasca bedah efektif di RSUD Dr. Sutomo. 56. Pandangan keluarga tentang kehidupan yang bahagia di hari tua bagi lanjut usia (suatu studi kualitatif).
57. Tingkat penerimaan keluarga penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa.
58. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan polindes dalam upaya meningkatkan pencapaian kunjungan ibu hamil dan ibu bersalin di Kabupaten Magetan.
59. Kadar fluor efektif dalam menurunkan karies gigi pada anak SD tahap II tahun 2000 – 2001.
60. Studi tentang perilaku ketaatan diet pasien Diabetes Mellitus di RSUP Denpasar 1999/2000.
61. Hubungan pola pangan terhadap atrisi gigi pada masyarakat kelompok usia 12 – 20 tahun di Kotamadya dan Kabupaten Kupang (NTT).
62. Hubungan antara sosio ekonomi, perilaku orang tua terhadap sindrom botol susu pada anak pra sekolah di Kecamatan Pontianak Barat dan Selatan Kotamadya Pontianak, Kalimantan Barat.
63. Studi tentang faktor-faktor tidak tercapainya cakupan imunisasi tetanus toksoid calon pengantin wanita di Kecamatan Banjar Timur Kotamadya Banjarmasin.
64. Efektivitas larutan pinang sebagai bahan penghambat penyakit periodontal.
65. Efektivitas latihan nafas dalam terhadap tingkat rasa nyeri klien pasca bedah laparatomi di RSUD A Wahab Syahrani Samarinda.
66. Pengaruh lamanya konsumsi gohu terhadap pembentukan karies gigi masyarakat di Kotamadya Manado dan alternatif penanggulangannya.
67. Pengaruh tingkat pendidikan keluarga terhadap penerimaan kembali pasien gangguan jiwa di RS Jiwa Pusat Ujung Pandang.
68. Persepsi keluarga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan klien gangguan jiwa di lingkungan keluarga di Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2000 – 2001.
69. Hubungan infeksi cacingan dengan kadar Hb, status gizi dan prestasi belajar anak SD di desa Tande dan Baruga Kabupaten Majene.
70. Tinjauan pola asuh keluarga nelayan terhadap proses perkembangan anak usia pra sekolah (3 – 6) tahun di pesisir pantai dan Lare-lare Kabupaten Dati II Luwu. Tahun 2001


1. Pengaruh mobilisasi terhadap lamanya perawatan pasien stroke hemoragi dan strokeischemik di ruang rawat inap syaraf RSU Zainoel Abidin Banda Aceh.
2. Pengaruh daya kerja / kreatifitas petugas perawatan terhadap peningkatan pelayanan klien dalam penerapan asuhan keperawatan di RSU Pematang Siantar.
3. Efektivitas rangsang air hangat dan dingin terhadap miksi pada klien post partum di RS dan Rumah Bersalin kota Pekanbaru.
4. Hubungan supervisi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana di unit rawat inap RSUP Dr. M. Jamil Padang.
5. Analisa kualitatif mengenai perilaku perawat dan mutu layanan keperawatan menurut persepsi pasien dan korban gempa bumi 7,3 pada skala richter di Bengkulu (sebuah studi kasus untuk penyempurnaan disaster manual).
6. Evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberian ferum pada ibu hamil dalam mengatasi anemi kahamilan pada Poli KIA Puskesmas di Bengkulu.
7. Peranan pengelola SDN terhadap pelayanan kesehatan gigi dengan sistim pembayaran subsidi silang dalam menyongsong era desentralisasi di SDN Kecamatan Tawang Kotif Tasikmalaya.
8. Pengaruh pemberian sorbitol dibandingkan sukrosa terhadap pembentukan plak gigi pada mahasiswa AKG Depkes Tasikmalaya tahun 1999/2000.
9. Studi tentang efektivitas penggunaan manual asuhan bagi anggota keluarga dalam melaksanakan asuhan di rumah pada ibu hamil dengan pre eklamsi ringan (kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogayakarta ) tahun 2001.
10. Pengaruh penggunaan media grafis komik memakai tokoh "Saras 008 dan Panji Manusia Milenium" dalam pembelajaran UKS terhadap tingkat pemahaman anak SD kelas 1 – 3 tentang personal hygiene di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
11. Pengaruh penerapan terapi vokasional terhadap tingkat kemandirian hidup klien gangguan jiwa kronis di RS Jiwa Yogyakarta.
12. Hubungan antara persepsi tentang penyakit TBC dengan sikap anak remaja yang mempunyai orang tua menderita penyakit TBC paru.
13. Pengaruh pelatihan manajemen keperawatan terhadap kemampuan kepala ruangan memotivasi bawahan dalam meningkatkan kepuasan klien.
14. Studi banding antara bidan dengan menggunakan format asuhan keperawatan dan bidan dengan menggunakan format asuhan kebidanan.
15. Pengaruh support sistem keluarga terhadap keberhasilan pengobatan TB paru di Kabupaten Malang.
16. Faktor-faktor yang mempengaruhi drop out pada peserta JPKM di wilayah kerja Puskesmas Pucang Sewu Kotamadya Surabaya.
17. Persepsi konsep diri wanita pasca mastektomi.
18. Peran perawat Puskesmas dalam merawat luka post operasi pasien di masyarakat setelah pulang dari RS di Kota Kupang tahun 2000/2001.
19. Analisis kebutuhan tenaga perawat berdasarkan tingkat ketergantungan pasien di RSU Prof. Dr. W.Z. Yohanes Kupang.
20. Profil dan kinerja bidan di desa Kotamadya Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

TOPIK PENELITIAN KEPERAWATAN ANAK
1. Stres akibat dampak hospitalisasi pada anak.
2. Penerapan konsep asuhan keperawatan anak dengan paradigma atraumatic care.
3. Menilai tahap perkembabgan pada bayi / anak dengan menggunakan format DDST.
4. Intervensi stimulasi untuk mencapai tahap tumbuh kembang bayi/anak.yang optimal.
5. Penentuan jenis permainan sesuai tahap tumbuh kembang anak dan jenis penyakit.
6. Pemberian imunisasi..
7. Perawatan anak dengan pemberian kemoterapi. 8. Pelaksanaan MTBS untuk mengenali gejala awal penyakit pada anak.
9. Fototerapi pada bayi dengan Hyperbilirubin.
10. Pemberian cholustrum pada BBL.
11. Perubahan perkembangan psikologi dan perilaku sosial pada anak usia prasekolah.
12. Peran ortu dalam penanggulangan dini penyakit demam berdarah dengue.

Selasa, 02 Februari 2010

ASKEP KANKER KOLON

A.DEFENISI
Tumor usus halus jarang terjadi, sebalikanya tumor usus besar dan rektum relatif umu. Pada kenyataannya, kanker kolon dan rektum adalah tipe paling umum kedua dari kenker internal diamerika serikat. Ini adalah penyakit budaya barat. Diperkirakan bahwa 150.000 kasus baru kanker kolorektal didiagnosis dinegara ini seriap tahunnya. Kanker kolon menyerang individu dua kali lebih besar dibandingkan dengan kanker rektal.
B.ETIOLOGI
Penyebab nyata dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetaoi faktor resiko telah teridentifikasi, termasuk riwayat atau riwayat kanker kolon atau polip dalam keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis, dan diet tinggi lemak, protein, dan dagin serta rendah serat.
C.PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum terutama (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menysusp serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumr primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati).
D.MANIFESTASI KLINIK
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah perubahan kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam feses gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga anemia yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksi, atau penurunan berat badan dan keletihan. Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri dangkal abdomen dan melena (feses hitam, seperti ter). Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan kram, penipisan feses, konstipasi dan distensi) serta adanya darah merag segar dalam feses. Gejala yang dihubungakan dengan lesi rektal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian, serta feses berdarah.
E.KOMPLIKASI
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus parsial atau lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekira kolon yang menyebabkan hemoragi . perforasi dapat terjadi, dan mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis atau sepsis dapat menimbulkan syok.
F.EVALUASI DOAGNOSTIK
Bersamaan dengan pemeriksaan abdomen dan rektal, prosedur diagnostik paling penting untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium, progtosigmoidoskopi, dan kolonoskopi. Sebanyak 60 % dari kasus kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi dan apusan sitologi.
G.PEMERIKSAAN ANTIGEN KARSINOEMBRIONIK
Pemeriksaan CEA dapat juga dilakukan meskipun antigen karsinoembrionik mungkin bukan indikator yang dapat dipercaya dalam mendiagnosa kanker kolon karena tidak semua lesi menyekresi CEA. Pemeriksaan menunjukkan bahwa kadar CEA dapat dipercaya dalam diagnosis prediksi. Pada eksisi tumor kemplet, kadar CEA yang meningkat harus kembali normal dalam waktu 48 jam. Peningkatan CEA pada tanggal selanjutnya menunjukkan kekambuhan.
H.PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan nasogatrik. Apabila terdapat pendarahan yang cukup barwarna, terapi komponen darah dapat diberikan. Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografidan laporoskopi telah terbukti berhasil dalam pentahapan kanker kolorektal pada periode praoperatif. Metode pentahapan yang dapat dilakukan adalah klasifikasi duke :
Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa
Kelas B – penetrasi melaui dinding usus
Kelas C – invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional
Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran luas.
Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dlam bentuk pendukung atau terapi ajufan. Teori ajufan biasanya diberikan selain pengobatan bedah dan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C dan B. terapi radiasi diberikan pada periode operati, intraoperatif, dan pascaoperatif untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Pembedahan adalah itndakan primer untuk kebanyakan kanker kolon pembedahan dapat bersifat kuratif dan paliatif.

PROSES KEPERAWATAN
A.Pengkajian
Riwayat kesehatan diambil untuk mendapatkan informasi tentang perasaan lelah: adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakternya (lokasi, frekuensi, durasi, berhubungan dengan makan atau defekasi), pola eliminasi terdahulu dan saat ini, deskripsi tentang warna, bau dan konsistensi feses, mencakup adanya darah atau mukus. Informasi tambahan mencakup riwayat masa lalu tentang penyakit usus inflamasi kronis atau polip kolorektal; dan terapi obat saat ini. Kebiasaan diet diidentifikasi mencakup masukan lemak dan serat serta jumlah komsumsi alkohol. Riwayat penurunan berat badan adalah penting.
Pengkajian objektif mencakup auskultasi abdomen terhadap bising usus dan palpasi abdomen untuk area nyeri tekan, distensi, dan massa padat. Spesimen feses diinspeksi terhadap karakter dan adanya darah.
B.Diagnosa keperawatan
Berdasarkan semua data pengkajian, diagnosa keperawatan utama mencakup sebagai berikut :
Konstipasi berhubungan dengan lesi obstruksi
Nyeri berhubungan dengan kompresi jaringan sekunder akibat obstruksi
Keletihan berhubungan dengan anemia dan anoreksia
Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan mual dan anoreksia
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan dehidrasi
Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan dan diagnosis kanker
Kurang pengetahuan mengenai diagnosa, prosedur pembedahan dan perawatan diri setelah pulang
 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah (abdomen dan perianal), pembentukan stoma, dan kontaminasi fekal terhadap kulit dan periostomal
Gangguan citra tubuh berhubungan denngan kolostomi
C.Intervensi keperawatan
Mempertahankan eliminasi. Frekuensi dan konsistensi defekasi dipantau. Laksatif dan enema diberikan sesuai resep. Pasien yang menunjukkan tenda perkembangan kearah obstruksi total disiapkan untuk menjalani pembedahan.
Menghilangkan nyeri. Analgesik diberikan sesuai resep. Lingkungan dibuat kondusif untuk relaksasi dengan meredupkan lampu, mematikan televisi atau radio, dan membatasi pengunjung dan telepon bila diinginkan oleh pasien. Tindakan kenyamanan tambahan ditawarkan perubahan posisi, gosokan punggung, dan tehnik relaksasi.
Meningkatkan toleransi aktivitas. Toleransi aktivitas pasien dikaji. Aktivitas diubah dan dijdualkan untuk memungkinan periode tirah baring yang adekuat dalam upaya untuk menurunkan keletihan pasien.terapi komponen darah diberikan sesuai resep bila pasine menderita anemia berat. Apabila transfusi darah diberikan, pedoman keamanan umum dan kebijakan institusi mengenai tindakan pengamanan harus diikuti. Aktivitas pascaoperatif ditingkatkan dan toleransi dipantau.
Memberikan tindakan nutrisional. Apabila kondisi pasien memungkinkan, diet tinggi kalori, protein, dan karbohidrat serta rendah residu diberikan pada periode praoperatif selama beberapa hari untuk memberikan nutrisi adekuat dan meminimalkan kram dengan menurungkan peristaltik kelebihan. Diet cair penuh dapat diberikan 24 jam selama pembedahan untuk menurungkan bulk. Nutrisi parenteral total diberikan pada beberapa pasien untuk menggantikan penipisan nutrien, vitamin dan mineral. Penimbangan berat badan hariian dicatat dan dokter diberitahu bila pasien terus mengalami penurunan berat badan pada saat m,enerima nutrisi parenteral.
Mempertahankan keseimabangan cairan dan elektrolit. Masukan dan haluaran, mencakup muntah, diukur dan dicatat untuk menyediakan data akuran tentang keseimbangan cairan. Masaukan makanan oral dan cairan pasien dibatasi untuk mencegah terjadinya muntah. Antiemetik diberikan sesuai resep. Cairan penuh atau jernih dapat ditoleransi, atau pasien dipuaskan. Selang nasogatrik akan dipasang pada periode praoperatif untuk mengalirkan akumulasi cairan dan mencegah distensi abdomen. Kateter urinarius inwelling dapat dipasang untuk memungkinkan pemantauan haluaran setiap jam. Haluaran kurang dari dari 30 ml/jam dilaporkan sehingga terapi cairan intavena dapat disesuaikan.
Pemberian cairan intravena dan elektrolit dipantau. Kadar elektrolit serum dipantau untk mendeteksi hipokalemia dan hiponatremia, yang terjadi akibat kehilangan cairan GI. Tanda vital dikaji untuk mendeteksi tanda hivopolemia : takikardia, hipotensi dan penurunan jumlah denyut. Status hidrasii dikaji, dan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, urine pekak, serta peningkatan jenis urine perlu dilaporkan.
Menurunkan ansietas. Tingkat ansietas klien perlu dikaji, seperti mekanisme koping yang digunakan untuk menghadapi strees.upaya pendukung mencakup pemberian privasi bila diinginkan dan menginstruksikan pasien untuk latihan relaksasi. Luangkan waktu untuk mendengarkan ungkapan, kesedihan, atau pernyataan yang disampaikan oleh klien. Perawat akan mengatru pertemuan dengan rohaniawan bila klien menginginkannya, dengan dokter bila pasien menginginkannya.
Mencegah infeksi. Antibiotik seperti kanamisin sulfat, eritromisin, dan neomisin sukfat diberikan sesuai resep untuk mengurangi bakteri usus dalam rangka persiapan pembedahan usus. Preparat ini diberikan melalui mulut untuk mengurangi kandungan bakteri kolon dan melunakkan serta menurunkan bulk dari isi kolon. Selain itu usus dapat dibersihkan dengan laksatif, enema, atau irigasi kolonis. Atibiotik dapat diberikan pada periode pasca operatif untuk membantu dalam mencegah infeksi.
Pendidikan pasien praoperatif. Pengetahuan pasien saat ini tentang diagnosis, prognosis, prosedur bedah dan tingkat fungsi yang diinginkan pada pascaoperatifharus dikaji. Informasi yang diperlukan, bagaimana hal ini ditujukkan, kapan pasien paling dapat menerimannya, dan siapa yang menemani selama intruksi.
Informasi yang diperlukan pasien tentang persiapan fisik untuk pembedahan, penampilan dan perawatan yang diharapkan dari luka pascaoperatif. Tehnik perawatan ostomi, pembatasan diet, kontrol nyeri, dan penatalaksanaan obatdimasukkan dalam materi rencana penyuluhan.
D. Evaluasi
Hasil yang diharapkan
1.Mempertahankan eliminasi usus adekuat
2.Mengalami sedikit nyeri
3.Meningkatkan toleransi aktivitas
4.Mencapai tingkat nutrisi yang optimal
5.Keseimbangan cairan tercapai
6.Mengalami penurunan ansietas
7.Memerlukan informasi diagnosis, prosedur bedah dan perawatan diri setelah pulang
8.Memeprtahankan insisi
9.Tidak mengalami komplikasi

KENALI DEMAM SEDINI MUNGKIN

Demam adalah suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur pada suhu 37 derajat C. Meningkatnya suhu tubuh beberapa derajat dapat membantu tubuh melawan infeksi. Demam akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah putih, membuat lebih banyak antibodi dan membuat lebih banyak zat-zat lain untuk melawan infeksi.
Suhu tubuh normal bervariasi tergantung masing-masing orang, usia dan aktivitas. Rata-rata suhu tubuh normal adalah 37 derajat C.
Suhu tubuh kita biasanya paling tinggi pada sore hari. Suhu tubuh dapat meningkat disebabkan oleh aktivitas fisik, emosi yang kuat, makan, berpakaian tebal, obat-obatan, suhu kamar yang panas, dan kelembaban yang tinggi. Ini terutama pada anak-anak.
Suhu tubuh orang dewasa kurang bervariasi. Tetapi pada seorang wanita siklus menstruasi dapat meningkatkan suhu tubuh satu derajat atau lebih.
Apa yang terjadi pada tubuh kita pada saat demam?
Yang mengatur suhu tubuh kita adalah hipotalamus yang terletak di otak. Hipotalamus ini berperan sebagai thermostat. Thermostat adalah alat untuk menyetel suhu seperti yang terdapat pada AC. Hipotalamus kita mengetahui berapa suhu tubuh kita yang seharusnya dan akan mengirim pesan ke tubuh kita untuk menjaga suhu tersebut tetap stabil.
Pada saat kuman masuk ke tubuh dan membuat kita sakit, mereka seringkali menyebabkan beberapa zat kimiawi tertentu beredar dalam darah kita dan mencapai hipotalamus. Pada saat hipotalamus tahu bahwa ada kuman, maka secara otomatis akan mengeset thermostat tubuh kita lebih tinggi. Misalnya suhu tubuh kita harusnya 37 derajat C, thermostat akan berkata bahwa karena ada kuman maka suhu tubuh kita harusnya 38,9 derajat C.
Kenapa hipotalamus memberitahu tubuh kita untuk mengubah ke suhu tubuh yang lebih tinggi? Ternyata dengan suhu tubuh yang lebih tinggi adalah cara tubuh kita berperang melawan kuman dan membuat tubuh kita menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kuman.
Setelah hipotalamus mengeset suhu baru untuk tubuh kita, maka tubuh kita akan bereaksi dan mulai melakukan pemanasan. Jadi setelah hipotalamus mengeset pada suhu 38,9 derajat C misalnya, maka suhu tubuh kita yang tadinya 37 derajat C, oleh tubuh kita akan dinaikkan menjadi 38,9 derajat C. Pada saat tubuh menuju ke suhu baru kita akan merasa menggigil. Kita dapat pula merasa sangat dingin meskipun ruangan tidak dingin dan bahkan meskipun kita sudah memakai baju tebal dan selimut. Jika tubuh sudah mencapai suhu barunya, katakanlah 38,9 derajat C maka kita tidak akan merasa dingin lagi.
Setelah penyebab yang menimbulkan demam lenyap, maka hipotalamus akan mengeset semuanya kembali seperti sediakala. Pada saat obat untuk radang tenggorokan kita sudah mulai bekerja misalnya, maka suhu tubuh kita akan mulai turun dan kembali ke normal. Kita akan merasa hangat dan perlu melepaskan panas yang berlebihan yang masih ada di tubuh. Kita akan berkeringat dan ingin memakai pakairan yang lebih tipis.
Demam bukan suatu penyakit. Jauh dari sebagai musuh, demam adalah suatu bagian penting dari pertahanan tubuh kita melawan infeksi. Banyak bayi dan anak-anak menjadi demam tinggi oleh penyakit-penyakit virus ringan. Jadi demam memberitahukan kepada kita bahwa suatu peperangan mungkin sedang terjadi di dalam tubuh kita, demam berperang untuk kita, bukan untuk melawan kita.
Banyak bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur pada suhu 37 derajat C. Meningkatkan suhu tubuh beberapa derajat dapat membantu tubuh memenangkan pertempuran melawan bakteri dan virus tadi. Selain itu demam akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah putih, antibodi dan zat-zat lain untuk melawan infeksi.
Fever Phobia
Banyak orangtua takut bahwa demam akan menyebabkan kerusakan otak. Kerusakan otak dari demam umumnya tidak akan terjadi kecuali demam melebihi 42 derajat C. Kebanyakan orangtua juga takut bahwa demam yang tidak diobati akan semakin tinggi dan semakin tinggi. Demam yang tidak diobati yang disebabkan oleh infeksi jarang yang melebihi 40,6 derajat C kecuali anak tersebut diberikan pakaian yang berlebihan atau terjebak dalam suatu tempat yang panas. Thermostat di otak akan menghentikan demam agar tidak melebihi 41,1 derajat C.
Beberapa orangtua takut bahwa demam akan menyebabkan kejang. Bagi kebanyakan anak-anak, demam tidak menyebabkan kejang. Tetapi kejang demam memang dapat terjadi pada beberapa anak. Sekali seorang anak diketahui pernah menderita kejang demam sederhana maka kita harus mencegah agar anak tersebut jangan sampai demam tinggi. Pada umumnya kejang demam sederhana hanya berlangsung singkat tanpa efek jangka panjang.
Meskipun infeksi adalah penyebab umum dari demam, akan tetapi demam mempunyai daftar penyebab lain yang cukup panjang, termasuk racun, kanker, dan penyakit-penyakit autoimun.
Heatstroke atau hyperthermia tidak sama dengan demam, oleh karena peningkatan suhu tubuh yang terjadi bukan disebabkan hipotalamus menaikkan set pointnya. Ini dapat terjadi akibat berolahraga terlalu lelah tanpa minum yang cukup atau terpapar dengan lingkungan yang panas, dan bisa juga disebabkan oleh beberapa obat-obatan tertentu. Hyperthermia dapat membahayakan jiwa.
Demam yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama beberapa hari atau beberapa minggu disebut dokter sebagai FUO (fever of undetermined origin). Kebanyakan disebabkan oleh suatu infeksi yang tersembunyi.

Penyebab Umum
•Infeksi virus dan bakteri;
•Flu dan masuk angin;
•Radang tenggorokan;
•Infeksi telinga
•Diare disebabkan bakterial atau diare disebabkan virus.
•Bronkitis akut, Infeksi saluran kencing
•Infeksi saluran pernafasan atas (seperti amandel, radang faring atau radang laring)
•Obat-obatan tertentu
•Kadang-kadang disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih serius seperti pneumonia, radang usus buntu, TBC, dan radang selaput otak.
•Demam dapat terjadi pada bayi yang diberi baju berlebihan pada musim panas atau pada lingkungan yang panas.
•Penyebab-penyebab lain: penyakit rheumatoid, penyakit otoimun, Juvenile rheumatoid arthritis, Lupus erythematosus, Periarteritis nodosa, infeksi HIV dan AIDS, Inflammatory bowel disease, Regional enteritis, Ulcerative colitis, Kanker, Leukemia, Neuroblastoma, penyakit Hodgkin, Non-Hodgkin's lymphoma
Perawatan Rumah
Jika demam ringan dan tidak ada masalah-masalah lain yang timbul, tidak diperlukan obat-obatan. Minum cairan yang banyak dan istirahat. Jika seorang anak masih dapat bermain dan nyaman, minum cairan yang banyak dan dapat tidur maka obat-obatan tidak diperlukan.
Ambil langkah-langkah untuk menurunkan demam jika kita atau anak kita merasa tidak nyaman, muntah, dehidrasi, atau sulit tidur. Tujuannya adalah menurunkan, bukan menghilangkan demam.
Waktu mencoba mengurangi demam:
•Jangan membungkus orang yang menderita demam.
Singkirkan baju atau selimut yang berlebihan. Lingkungan sebaiknya sejuk nyaman. Contoh, satu lapis baju tipis dan satu selimut tipis untuk tidur. Jika ruangan panas, nyalakan AC atau kipas angin.
•Mandi atau menyeka tubuh dengan air hangat kuku dapat membantu mendinginkan seseorang dengan demam. Ini efektif terutama setelah diberikan obat penurun panas kalau tidak suhu tubuh akan kembali naik.
•Jangan mandi dengan air dingin atau kompres dengan alkohol. Ini akan mendinginkan kulit tetapi seringkali membuat situasi menjadi lebih buruk karena menyebabkan menggigil yang mana dapat meningkatkan suhu dalam tubuh.
•Minum cairan lebih banyak. Minum cairan dingin kalau bisa.
Beberapa petunjuk untuk minum obat:
•Acetaminophen (paracetamol) dan ibuprofen dapat mengurangi demam pada anak dan dewasa. Beberapa merek dagang acetaminophen: Panadol, Tempra, Sanmol, Praxion, dll. Beberapa merek dagang ibuprofen: Proris, Rhelafen, Bufect, dll.
Minum acetaminophen setiap 4 – 6 jam. Obat ini bekerja cepat dengan cara menurunkan thermostat otak. Minum ibuprofen setiap 6 – 8 jam. Seperti aspirin, ibuprofen membantu melawan peradangan pada sumber demam. Kadang-kadang dokter menganjurkan anda untuk menggunakan kedua macam obat ini bergantian. Sebenarnya hal ini belum didukung data mengenai keamanan dan keefektifannya. Ibuprofen tidak boleh dipakai untuk bayi denga usia kurang dari 6 bulan.
•Aspirin sangat efektif untuk mengobati demam pada orang dewasa. JANGAN memberikan aspirin pada anak-anak.
•Obat-obatan penurun panas tersedia dalam konsentrasi yang berbeda-beda, jadi selalu perhatikan instruksi pada kemasan.
•Jangan berikan obat-obatan apapun untuk menurunkan demam pada bayi berusia 3 bulan ke bawah tanpa petunjuk dokter.
Jika seseorang terkena panas karena kelelahan atau heat stroke, keluarkan orang tersebut dari sumber panas, Seka dengan dengan air hangat kuku. Tempatkan kantong es di ketiak, dibelakang leher dan di lipat paha. Berikan cairan jika orang itu sadar. Cari pertolongan medis.
Hubungi segera dokter anda jika:
•Bayi berusia kurang dari 90 hari dengan suhu rektal lebih dari 37.9°C. Pada bayi usia muda ini mereka akan mudah menjadi sakit parah dalam waktu sangat cepat.
•Bayi berusia 3 – 6 bulan dengan demam lebih dari 38.3°C.
•Bayi berusia 6 – 12 bulan dengan demam lebih dari 39.4°C.
•Anak berusia kurang dari 2 tahun dengan demam lebih dari 24 – 48 jam.
•Demam yang berlangsung lebih dari 48 – 72 jam pada anak yang lebih tua dan pada orang dewasa.
•Demam tinggi (lebih dari 40.5°C) pada usia berapapun juga.
•Terdapat gejala-gejala lain yang mengkhawatirkan. Contoh: gelisah, kesadaran menurun, tampak sakit berat, kesulitan bernafas, kaku kuduk, tidak dapat menggerakan lengan atau tungkai, kejang pertama kali, timbul bintik-bintik atau bercak ungu kemerahan-merahan (perdarahan bawah kulit), demam disertai muntah terus-menerus, diare, sulit/nyeri pada saat menelan ludah atau minum, sangat rewel (misalnya menangis terus-menerus bila disentuh atau dipindahkan), terdapat tanda-tanda dehidrasi (mulut sangat kering, tidak buang air kecil lebih dari 6 jam, dll).
•Mempunyai penyakit kronik yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh.
Apa yang mungkin akan dilakukan oleh dokter anda?
•Dokter anda akan melakukan pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan kulit, mata, telinga, hidung, tenggorokan, leher, dada dan perut untuk mencari penyebab demam.
•Dokter anda mungkin akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti:
Kapan mulai timbul demam? Sudah berapa lama demam berlangsung? Apakah demam timbulnya mendadak? Obat-obatan apa saja yang sudah diberikan untuk menurunkan demam?
Apakah demam diselingi menggigil? Apakah demam naik turun?
Apakah demam terjadi dalam waktu 4 sampai 6 jam setelah terpapar dengan sesuatu yang membuat anda alergi?
Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai demam? Adakah batuk pilek? Adakah nyeri pada waktu menelan? Adalah muntah? Adakah diare? Adakah nyeri pada waktu buang air kecil? Bagaimana nafsu makan anak? Apakah tidur terganggu? Apakah mendengkur lebih dari biasanya?
Pengobatan tergantung pada berapa lama demam berlangsung dan penyebab dari demam serta gejala-gejala lain yang menyertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang mungkin diminta dokter anda:
•Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis
•Pemeriksaan urin
•Foto rontgen

ASKEP NEFROLITIASIS DAN UROLITIASIS

A.Pengertian
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal, sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius. Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat.
B.Etiologi
Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).
C.Patofisiologi
Batu dapat ditemukan disetiap bagian ginjal sampai kekandung kemih dan ukuran bervariasi dari defosit granuler yang kecil, yang disebut pasir atau kerikil, sampai batu sebesar kandung kemih yang berwarna oranye. Factor tertentu yang mempengaruhi pembentukan batu, mencakup infeksi, statis urine, periode immobilitas. Factor-faktor yang mencetuskan peningkatan konsentrasi kalsium dalam darah dan urine, menyebabkan pembentukan batu kalsium.

D.Manifestasi klinik
Adanya batu dalam traktius urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika betu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi dan sistisis yang disertai menggigil, demam, dan disuria dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit fungsional ginjal. Sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan menyebabkan ketidaknyamanan. Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus menerus diarea konstovertebral. Hematuria dan piuria dapat dijumpai. Batu yang terjebak diureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa, akut, kolik, yang menyebar kepaha dan genitalia. Pasien merasa selalu ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasive batu. Batu yang terjebak dikandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria.
E.Evaluasi diagnostic
Diagnosis ditegakkan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih (GUK), uregrafi intravena, atau pielografi retrograde. Uji kimia darahdan urine 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH, dan volume total merupkan bagian dari upaya diagnostic. Riwayat diet dan medikasi serta riwayat adanya batu ginjal dalam keluarga didapatkan untuk mengidentifikasi factor yang mencetuskan terbentuknya batu pada pasien.
F.Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi yang terjadi.

PROSES KEPERAWATAN

A.Pengkajian
Aktivitas istirahat
Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajang pada lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/immobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya.
Sirkulasi
Tanda : peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal jantung). Kulit hangat dan kemerahan, pucat.
Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus), penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda : oliguria, hematuria, piuria, dan perubahan pola berkemih.
Makanan/cairan
Gejala : mual/muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat, dan atau fosfat, ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup.
Tanda : distensi abdominal, penurunan atau takadanya bising usus, dan muntah.
B.Diagnosa keperawatan
1)Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral.
2)Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral.
3)Resiko tinggi terhadap kekuranganm volume cairanberhubungan dengan mual/muntah
4)Kurangnya pemngetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajang/mengingat, salah interpretasi informasi.
C.Intervensi dan perencanaan
1)Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral.
a)Catat lokasi lamanya intensitas, dan penyebarannya
R/ membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan kalkulus
b)Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kestaff terhadap perubahan kejadian/karakteristik nyeri
R/ memberikan kesempatan terhadap pemberian analgesi sesuai waktu
c)Berikan tindakan nyaman, contoh pijatan punggung dan lingkungan istirahat.
R/ Meningkatkan relaksasi, menurungkan tegangan otot dan meningkatkan koping.
d)Berikan obat anti nyeri
R/ untuk menurungkan rasa nyeri
2)Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral.
a)Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
R/ memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b)Tentukan pola berkemih pasien dan perhatikan variasi
R/ kalkulus dapat menyebabkan eksitabilitas saraf, yang menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera.
c)Dorong meningkatkan pemmasukan cairan
R/ peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, dan debris dan dapat membantu lewatnya batu
d)Awasi pemeriksaan laboratorium
R/ peninggian BUN, kreatinin, dan elektrolit mengindikasikan disfungsi ginjal.
3)Resiko tinggi terhadap kekuranganm volume cairanberhubungan dengan mual/muntah
a)Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan
R/ membandingkan keluaran aktual dan yang diantisipasi membanu dalam evaluasi adanya kerusakan ginjal
b)Catat insiden muntah
R/ Mual/muntah secara umum berhubungan dengan kolik ginjal karena sartaf ganglion seliaka pada kedua ginjal dan lambung
c)Tingkatkan pemasukan cairan 3-4 liter/hari dalam toleransi jantung
R/ Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostatis
d)Awasi tanda vital
R/ indikator hidrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi
e)Berikan cairan IV
R/ mempertahankan volume sirkulasi meningkatkan fungsi ginjal
4)Kurangnya pemngetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajang/mengingat, salah interpretasi informasi.
a)Kaji ulang proses pemnyakit dan harapan masa depan
R/ memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi
b)Tekankan pentingnya pemasukan cairan
R/ pembilasan sistem ginjal menurungkan kesempatan statis ginjal dan pembentukan batu
c)Diaskusikan program pengobatan
R/ obat-obatan diberikan untuk mengasamkan atau mengalkalikan urine
D.Evaluasi
Dari intervensi yang dilakukan beberapa hasil yang kitaharapkan adalah sebagai berikut :
1)Nyeri hilang/terkontrol
2)Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan
3)Mencegah Komplikasi
4)Proses penyekit/prognosis dan program terapi dipahami

ASKEP ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

DEFENISI
ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fungsi septum interatrial semasa janin.
Defek Septum Atrium (ASD, Atrial Septal Defect) adalah suatu lubang pada dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri dan atrium kanan).
Kelainan jantung ini mirip seperti VSD, tetapi letak kebocoran di septum antara serambi kiri dan kanan. Kelainan ini menimbulkan keluhan yang lebih ringan dibanding VSD.
Atrial Septal Defect adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembedahan jantung terbuka adalah defek sekat atrium. Defek sekat atrium adalah hubungan langsung antara serambi jantung kanan dan kiri melalui sekatnya karena kegagalan pembentukan sekat. Defek ini dapat berupa defek sinus venousus di dekat muara vena kava superior, foramen ovale terbuka pada umumnya menutup spontan setelah kelahiran, defek septum sekundum yaitu kegagalan pembentukan septum sekundum dan defek septum primum adalah kegagalan penutupan septum primum yang letaknya dekat sekat antar bilik atau pada bantalan endokard. Macam-macam defek sekat ini harus ditutup dengan tindakan bedah sebelum terjadinya pembalikan aliran darah melalui pintasan ini dari kanan ke kiri sebagai tanda timbulnya sindrome Eisenmenger. Bila sudah terjadi pembalikan aliran darah, maka pembedahan dikontraindikasikan. Tindakan bedah berupa penutupan dengan menjahit langsung dengan jahitan jelujur atau dengan menambal defek dengan sepotong dakron.
Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu
1)Ostium Primum (ASD 1), letak lubang di bagian bawah septum,mungkin disertai kelainan katup mitral.
2)Ostium Secundum (ASD 2), letak lubang di tengah septum.
3)Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan Atrium Kanan.

1.1ETIOLOGI
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1)Faktor Prenatal
Ibu menderita infeksi Rubella
Ibu alkoholisme
Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ibu menderita IDDM
Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
2)Faktor genetic
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah atau ibu menderita PJB
Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
Lahir dengan kelainan bawaan lain
ASD merupakan suatu kelainan jantung bawaan.
Dalam keadaan normal, pada peredaran darah janin terdapat suatu lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu melewati paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini biasanya menutup. Jika lubang ini tetap terbuka, darah terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan (shunt). Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada septum atrium ini tidak diketahui.

1.2PATOFISIOLOGI
Pada kasus Atrial Septal Defect yang tidak ada komplikasi, darah yang mengandung oksigen dari Atrium Kiri mengalir ke Atrium Kanan tetapi tidak sebaliknya. Aliran yang melalui defek tersebut merupakan suatu proses akibat ukuran dan complain dari atrium tersebut. Normalnya setelah bayi lahir complain ventrikel kanan menjadi lebih besar daripada ventrikel kiri yang menyebabkan ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang. Hal ini juga berakibat volume serta ukuran atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika complain ventrikel kanan terus menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari kiri kekanan bisa berkurang. Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa terjadi akibat penyakit vaskuler paru yang terus bertambah berat. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis.
1.3MANIFESTASI KLINIK
Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia).3, 4
Gejala yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan.
Gejalanya bisa berupa:
Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
Dispneu (kesulitan dalam bernafas)
Sesak nafas ketika melakukan aktivitas
jantung berdebar-debar (palpitasi)
Pada kelainan yang sifatnya ringan sampai sedang, mungkin sama sekali tidak ditemukan gejala atau gejalanya baru timbul pada usia pertengahan
 Aritmia
1.4PENATALAKSANAAN
PENGOBATAN
Menutup ASD pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya kelainan yang serius di kemudian hari. Jika gejalanya ringan atau tidak ada gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan.
Jika lubangnya besar atau terdapat gejala, dilakukan pembedahan untuk menutup ASD.
Pengobatan pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap kali sebelum penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk mengurangi resiko terjadinya endokarditis infektif.

TERAPI
Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.

TERAPI INTERVENSI NON BEDAH
ASO adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum secara non bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha (arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang pendek dan terbuat dari anyaman kawat Nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri dengan ukuran ASD. Di dalamnya ada patch dan benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga lubang/komunikasi antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna.
Kriteria penderita ASD yang akan dilakukan pemasangan ASO:
1)ASD sekundum
2)Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3)Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban volume pada ventrikel kanan
4)Mempunyai rim minimal 5 mm dari sinus koronarius, katup atrio-ventrikular, katup aorta dan vena pulmonalis kanan
5)Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan intervensi bedah
6)Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7)Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery Resistance Index = PARi) kurang dari 7 - 8 U.m2
8)Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.

1.5PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen dada
Ekokardiografi
Doppler berwarna
Ekokardiografi transesofageal
Kateterisasi jantung
Angiografi koroner (untuk penderita diatas 35 tahun)
MRI dada
Laboratorium
Foto thorax
EKG ; deviasi aksis ke kiri pada ASD primum dan deviasi aksis ke kanan pada ASD Secundum; RBBB,RVH.EKG menunjukkan adanya fibrilasi atrium atau pembesaran atrium kanan.
Kateterisasi jantung ; prosedur diagnostik dimana kateter radiopaque dimasukan kedalam serambi jantung melalui pembuluh darah perifer, diobservasi dengan fluoroskopi atau intensifikasi pencitraan; pengukuran tekanan darah dan sample darah memberikan sumber-sumber informasi tambahan.
TEE (Trans Esophageal Echocardiography)
2.1PENGKAJIAN
1)Lakukan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan yang mendetail terhadap jantung.
Denyut arteri pulmonalis dapat diraba di dada
Pemeriksaan dengan stetoskop menunjukkan bunyi jantung yang Abnormal. Bisa terdengar murmur akibat peningkatan aliran darah yang melalui katup pulmonalis
Tanda-tanda gagal jantung
Jika shuntnya besar, murmur juga bisa terdengar akibat peningkatan aliran darah yang mengalir melalui katup trikuspidalis
2)Lakukan pengukuran tanda-tanda vital.
3)Kaji tampilan umum, perilaku, dan fungsi:
Inspeksi
Status nutrisi
Gagal tumbuh atau penambahan berat badan yang buruk berhubungan dengan penyakit jantung.
Warna – Sianosis adalah gambaran umum dari penyakit jantung kongenital, sedangkan pucat berhubungan dengan anemia, yang sering menyertai penyakit jantung.
Deformitas dada – Pembesaran jantung terkadang mengubah konfigurasi dada.
Pulsasi tidak umum – Terkadang terjadi pulsasi yang dapat dilihat.
Ekskursi pernapasan – Pernapasan mudah atau sulit (mis; takipnea, dispnea, adanya dengkur ekspirasi).
Jari tabuh – Berhubungan dengan beberapa type penyakit jantung kongenital.
Perilaku – Memilih posisi lutut dada atau berjongkok merupakan ciri khas dari beberapa jenis penyakit jantung.
Palpasi dan perkusi
Dada – Membantu melihat perbedaan antara ukuran jantung dan karakteristik lain (seperti thrill-vibrilasi yang dirasakan pemeriksa saat mampalpasi)
Abdomen – Hepatomegali dan/atau splenomegali mungkin terlihat.
Nadi perifer – Frekwensi, keteraturan, dan amplitudo (kekuatan) dapat menunjukkan ketidaksesuaian.
Auskultasi
Jantung – Mendeteksi adanya murmur jantung.
Frekwensi dan irama jantung – Menunjukkan deviasi bunyi dan intensitas jantung yang membantu melokalisasi defek jantung.
Paru-paru – Menunjukkan ronki kering kasar, mengi.
Tekanan darah – Penyimpangan terjadi dibeberapa kondisi jantung (mis; ketidaksesuaian antara ekstremitas atas dan bawah)
Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian – mis; ekg, radiografi, ekokardiografi, fluoroskopi, ultrasonografi, angiografi, analisis darah (jumlah darah, haemoglobin, volume sel darah, gas darah), kateterisasi jantung.
2.2DIAGNOSA
1)Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur
Tujuan : Klien akan menunjukkan perbaikan curah jantung.
Kriteria hasil :
Frekwensi jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer berada pada batas normal sesuai usia.
Keluaran urine adekuat (antara 0,5 – 2 ml/kgbb, bergantung pada usia)
2)Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
Tujuan : Klien mempertahankan tingkat energi yang adekuat tanpa stress tambahan.
Kriteria hasil :
Anak menentukan dan melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan.
Anak mendapatkan waktu istirahat/tidur yang tepat.

3)Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan ketidakadekuatan oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.
Tujuan :
Pasien mengikuti kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan.
Anak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang sesuai dengan usia
Kriteria hasil :
Anak mencapai pertumbuhan yang adekuat.
Anak melakukan aktivitas sesuai usia
Anak tidak mengalami isolasi social
4)Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah.
Tujuan : Klien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi
Kriteria hasil : Anak bebas dari infeksi.
5)Risiko tinggi cedera (komplikasi) berhubungan dengan kondisi jantung dan terapi
Tujuan : Klien/keluarga mengenali tanda-tanda komplikasi secara dini.
Kriteria hasil :
Keluarga mengenali tanda-tanda komplikasi dan melakukan tindakan yang tepat.
Klien/keluarga menunjukkan pemahaman tentang tes diagnostik dan pembedahan.

6)Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit jantung (ASD)
Tujuan :
Klien/keluarga mengalami penurunan rasa takut dan ansietas
Klien menunjukkan perilaku koping yang positif
Kriteria hasil :
Keluarga mendiskusikan rasa takut dan ansietasnya
Keluarga menghadapi gejala anak dengan cara yang positif

2.3INTERVENSI

DX I :Tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur.
1)Beri digoksin sesuai program, dengan menggunakan kewaspadaan yang dibuat untuk mencegah toxisitas.
2)Beri obat penurun afterload sesuai program
3)Beri diuretik sesuai program


DX II :Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
1)Berikan periode istirahat yang sering dan periode tidur tanpa gangguan.
2)Anjurkan permainan dan aktivitas yang tenang.
3)Bantu anak memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi, dan kemampuan.
4)Hindari suhu lingkungan yang ekstrem karena hipertermia atau hipotermia meningkatkan kebutuhan oksigen.
5)Implementasikan tindakan untuk menurunkan ansietas.
6)Berespons dengan segera terhadap tangisan atau ekspresi lain dari distress.

DX III : Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan ketidakadekuatan oksigen dan nutrien pada jaringan; isolasi sosial.

1)Beri diet tinggi nutrisi yang seimbang untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat.
2)Pantau tinggi dan berat badan; gambarkan pada grafik pertumbuhan untuk menentukan kecenderungan pertumbuhan.
3)Dapat memberikan suplemen besi untuk mengatasi anemia, bila dianjurkan.
4)Dorong aktivitas yang sesuai usia.
5)Tekankan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang sama terhadap sosialisasi seperti anak yang lain.
6)Izinkan anak untuk menata ruangnya sendiri dan batasan aktivitas karena anak akan beristirahat bila lelah.

DX IV : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan status fisik yang lemah.

1)Beri istirahat yang adekuat
2)Beri nutrisi optimal untuk mendukung pertahanan tubuh alami.

DX V : Risiko tinggi cedera (komplikasi) berhubungan dengan kondisi jantung dan terapi

1)Ajari keluarga untuk melakukan intervensi selama serangan hipersianotik
2)Jelaskan atau klarifikasi informasi yang diberikan oleh praktisi dan ahli bedah pada keluarga.
3)Siapkan anak dan orang tua untuk prosedur.
4)Bantu membuat keputusan keluarga berkaitan dengan pembedahan.
5)Gali perasaan mengenai pilihan pembedahan.

DX VI : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit jantung (ASD)

1)Diskusikan dengan orang tua dan anak (bila tepat) tentang ketakutan mereka dan masalah defek jantung dan gejala fisiknya pada anak karena hal ini sering menyebabkan ansietas/rasa takut.
2)Dorong keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak selama hospitalisasi untuk memudahkan koping yang lebih baik di rumah.
3)Dorong keluarga untuk memasukkan orang lain dalam perawatan anak untuk mencegah kelelahan pada diri mereka sendiri.
4)Bantu keluarga dalam menentukan aktivitas fisik dan metode disiplin yang tepat untuk anak.

2.4EVALUASI
Proses : langsung setalah setiap tindakan
Hasil : tujuan yang diharapkan
1)Tanda-tanda vital anak berada dalam batas normal sesuai dengan usia
2)Anak berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang sesuai dengan usia
3)Anak bebas dari komplikasi pasca bedah
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM (1996), Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Buku Ajar KEPERAWATAN KARDIOVASKULER (2001), Pusat Kesehatan
Buku Saku Keperawatan Pediatrik (2002), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan medik RS jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2003.

Roebiono PS, Harimurti GM, Rahajoe AU. Unpublished data, Divisi Kardiologi Anak, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta 2004.

www.republika.co.id
www.medicastore.com
www.inovasionline.com
www.solusisehat.net

ASKEP CUSHING SINDROM

PENGERTIAN
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, Hal. 1088)

ETIOLOGI
Sindrom cushing disebabkan oleh sekresi kortisol atau kortikosteron yang berlebihan, kelebihan stimulasi ACTH mengakibatkan hiperplasia korteks anal ginjal berupa adenoma maupun carsinoma yang tidak tergantung ACTH juga mengakibatkan sindrom cushing. Demikian juga hiperaktivitas hipofisis, atau tumor lain yang mengeluarkan ACTH. Syindrom cuhsing yang disebabkan tumor hipofisis disebut penyakit cusing. (buku ajar ilmu bedah, R. Syamsuhidayat, hal 945)
 Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom cusing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat ransangan belebihan oleh ACTH atau sebab patologi adrenal yang mengakibatkan produksi kortisol abnormal. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1091)

PATOFISIOLOGI
Telah dibahas diatas bahwa penyebab sindrom cishing adalah peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Untuk lebih memahami manifestasi klinik sindrom chusing, kita perlu membahas akibat-akibat metabolik dari kelebihan glikokorikoid.
Korteks adrenal mensintesis dan mensekresi empat jenis hormon:
Glukokortikoid. Glukokortikoid fisiologis yang disekresi oleh adrenal manusia adalah kortisol.
Mineralokortikoid. Mineralokortikoid yang fisiologis yang diproduksi adalah aldosteron.
Androgen.
Estrogen
Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan keadan-keadaan seperti dibawah ini:
1.Metabolisme protein dan karbohidrat.
Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel pembentk protein untuk mensistesis protein, sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan tulang.
Secara klinis dapat ditemukan:
Kulit mengalami atropi dan mudah rusak, luka-luka sembuh dengan lambat.
Ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda regang pada kulit berwarna ungu (striae).
Otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah.
Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong vaskule menyebabkan mudah tibul luka memar.
Matriks protein tulang menjadi rapuh dan menyebabkan osteoporosis, sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur patologis.
Metabolisme karbohidrat dipengaruhi dengan meransang glukoneogenesis dan menganggu kerja insulin pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya penderita dapat mengalami hiperglikemia.
Pada seseorang yang mempunyai kapasitas produksi insulin yang normal, maka efek dari glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin untuk meningkatkan toleransi glukosa.
Sebaliknya penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan tersebut, dan menimbulkan manifestasi klinik DM.
2.Distribusi jaringan adiposa.
Distribusi jaringan adiposa terakumulasi didaerah sentral tubuh
Obesitas
Wajah bulan (moon face)
Memadatnya fossa supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal (punguk bison)
Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawag yang kurus akibat atropi otot memberikan penampilan klasik perupa penampilan Chusingoid.
3.Elektrolit
efek minimal pada elektrolit serum.
Kalau diberikan dalam kadar yang terlalu besar dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium. Menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis metabolik.
4.Sistem kekebalan
ada dua respon utama sistem kekebalan; yang pertama adalah pembentukan antibody humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat ransangan antigen yang lainnya tergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang tersensitasi.
Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibody humoral dan menghabat pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limpoid pada respon primer terhadap anti gen.
Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini:
Proses pengenalan antigen awal oleh sel-sel sistem monosit makrofag
Induksi dan proleferasi limfosit imunokompeten
Produksi anti bodi
Reaksi peradangan
Menekan reaksi hipersensitifitas lambat.
5.Sekresi lambung
sekeresi asam lambubung dapat ditingkatkan .
sekresi asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat.
Faktor-faktor protekitif mukosa dirubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah terjadinya tukak.
6.Fungsi otak
perubahan psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid, hal ini ditandai dengan oleh ketidak stabilan emosional, euforia, insomnia, dan episode depresi singkat.
7.Eritropoesis
Involusi jaringan limfosit, ransangan pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis.
Namun secara klinis efek farmakologis yang bermanfaat dari glukokortikoid adalah kemampuannya untuk menekan reaksi peradangan. Dalam hal ini glukokortikoid:
Dapat menghambat hiperemia, ekstra vasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler.
Menghambat pelapasan kiniin yang bersifat pasoaktif dan menkan fagositosis.
Efeknya pada sel mast; menghambat sintesis histamin dan menekan reaksi anafilaktik akut yang berlandaskan hipersensitivitas yang dperantarai anti bodi.
Penekanan peradangan sangat deperlukan, akan tetapi terdapat efek anti inflamasi yang merugikan penderita. Pada infeksi akut tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagai layaknya sementara menerima dosis farmakologik. (Sylvia A. Price; Patofisiologi, hal 1090-1091)
JENIS-JENIS SINDROM CUSHING
Sindrom cushing dapat dibagi dalam 2 jenis:
1.Tergantung ACTH
heperfungsi korteks adrenal mungkin dapat disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofise yang abnormal berlebihan. Tipe ini mula-mula dijelaskan oleh oleh Hervey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan ini disebut juga sebagai penyakit cushing.
2.Tak tergantung ACTH
adanya adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, selain itu terdapat bukti-bukti histologi hiperplasia hipofisis kortikotrop, masih tidak jelas apakah kikroadenoma maupum hiperplasia timbal balik akibat gangguan pelepasan CRH (Cortikotropin Realising hormone) oleh neurohipotalamus. (Sylvia A. Price; Patofisiologi. hal 1091)
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik yang sering ditemukan pada penyakit sydrom cushing antara lain obes itas sentral, gundukan lemak pada punggung, muka bulat (moon face), striae, berkurangnya massa otot dan kelemahan umum.
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada sindrom cushing seperti atripi/kelemahan otot ekstremitas, hirsutisme (kelebihan bulu pada wanita), ammenorrhoe, impotensi, osteoporosis, atropi kulit, akne, udema., nyeri kepala, mudah memar dan gangguan penyembuhan luka. (Buku Ajar Ilmu Bedah, R. Syamsuhidayat, hal. 946)
DIAGNOSIS
Adanya sindrom cushing dapat ditentukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang telah dijelaskan. Diagnosis umunya ditegakkan berdasarkan kadar kortisol yang tinggi dalam plasma dan kemih. Ada juga tes-tes spesifik yang dipakai untuk menentukan adanya tidaknya irama sirkandian normal pelepasan kortisol dan mekanisme pengaturan umpan balik yang sensitif. Tidak adanya irama sirkandian dan berkurangnya atau berkurangnya kepekaan sistim pengaturan umpan balik merupakan ciri sindrom cushing.
Pemeriksaan fisiologi dapat membantu membedakan chusing hipofisis dari cusing ektopik atau cushing kortek sdrenal primer. Pada sindrom cushing ektipik dan korteks adrenal, sekresi abnormal ACTH atau kortisol biasanya tidak berubah pada peransangan ataupun penekanan untuk menguji mekanisme kontrol umpan balik negatif yang normal.
CT scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah-daerah penurunan atau penigkatan densitas yang kosisten dengan mikrodema pada sekitar 30% dari penderita-penderita ini. MRI dengan koontras memberikan temuan positif pada ma yoritas penderita. CT scan kelenjar adrenal biasanya menujukkan pembesaran adrenal pada kasus sindrom cushing tergantung ACTH dan massa adrenal pada pasien dengan adenoma atai karsinoma adrenal. (Sylvia, A. Price; Patofisiologi; Hal 1092-1093)
PENGOBATAN/ TERAPI
Oengibatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung pada apakah sumber ACTH adalah hiposis atau ektopik. Beberapa pendekatan terapi dugunakan pada kasus dengan hipersekresi ACTH hipofisis. Jika dijumpai tumor hipofisis sebaiknya sdiusahakan reseksi tumor transfenoidal. Tetapi jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobalt pada kelenjar hipofise.
Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenalektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik atau dengan kimia yang mampu mrnghambat atau merusal sel-sel korteks adrenal yang mensekresi kortisol.
Pengobatan sindrom ACTH ektopik adalah dengan reseksi neoplasma yang mensekresi ACTH atau adrenalektomi atau supresi kimia fungsi adrenal seperti dianjurkan pada penderita sindrom cushing jenis tergantung ACTH hipofisis. (Silvia A. Price; Patofisiologi, Hal. 1093)

PENGKAJIAN
NEUROLOGIS
Kelabilan alam perasaan depresi sampai mania.
MUSKULSKELETAL
Bufallo hamp
Obesitas badan dengan ekstremitas kecil
Penumpukan lemak supra klapikular
Sakit pinggang
Kehilangan otot atau kehilangan massa otot
Osteoporosis
KARDIOVASKULER
Hipertensi
Hiper tensi cairan dengan pitting udema
GASTROINTESTINAL
Polidipsia
Peningkatan berat badan
GINJALA
Poliuri
METABOLISME
Gangguan penyembuhan luka
Peningkatan kemudahan untuk terserang infeksi
Intoleransi karbohidrat
INTRGUMEN
Moon face
Kulit tipis transparan
Peningkatan pigmrntasi
Mudah memar
SEKSUAL DAN REPRODUKSI
Maskulinitas wanita
Gangguan menstruasi
Feminisasi pria
Impotensi
Penurunan libido
PEMERIKSAAN DIAGNISTIK LABORATORIUM
Hiperglikemi
Alkalosis metabolik
Hipokalemia
Peningkatan ACTH plasma bila di test sepanjang hari
Peningkatan natrium serum dan plasma kortisol
Plasma kortisol tidak dapat sitekan dengan deksa metason
Hitung sel darah putih meningkat
Respon hiperaktif terhadap tes ransangan ACTH 8 jam
Peningkatan kortisol urine24 jam dan 17-hidroksil kortokosteroid
Peningkatan respon tergadap metapiron
(Standar Perawatan Pasien; Susan Martin Tucker, hal, 342)

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan semua darta pengkajian, diagnosa keperawatan utama syndrom cushing mencakup yang berikut ini:
Risiko cedera dan infeksi berhubungan dengan kelemahan dan perubahan metabilisme protein serta respon inflamasi.
Kurang perawatan diri; kelemahan perasaan mudah lelah, atropi otot dan perubahan pola tidur.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan edema, gangguan kesembuhan dan kulit ya ng tipis serta rapuh.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik, gangguan fungsi seksual dan penurunan tingkat aktivitas
Gangguan proses berpikir berhubungan dengan fluktuasi emosi, irritabilitas dan depresi.
(Susanne C. Smeltzer; Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, hal. 1330)

MASALAH KOLABORATIF
KOMPLIKASI POTENSIAL
Berdasarkan pada data, komplikasi potensial dapat mencakup:
Krisis addison
Efek yang merugiakan pada aktivitas korteks adrenal

PERENCANAN DAN IMLEMENTASI
TUJUAN:
Tujuan utama mencakup penurunan resiko cedera dan infeksi, peningkatan kemampuan untuk melaksanakan kemampuan perawatan mandiri , perbaikan fungsi mental dan tidak adanya komplikasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN:
Pemantauan dan penata laksanaan komplikasi potensial.
Krisiss addison. Pasien sindrom cushing yang gejalanya ditangani dengan cara menghentikan pemberian pemeberian kortikoisteroid atau dengan adrenelektomi atau pengangkatan tumor hipofisis akan beresiko mengalami hipofungasi adrenal dan krisis addisonian. Jika fungsi hormon adrenal telah tersupressi oleh kadara drenal yang tinggi dalam darah, maka atropi korteks adrenal kemungkinan akan terjadi. Apabila kadar hormon tersebut menurun dengan cepat akibat pembedahan atau penghentian terapi kortikosdteroid yang tiba-tiba, manifestasi hipofungsi adrenal dan krisis addison dapat terjadi.
Disamping itu, penderita cushin sindrom yang mengalami kejadian yang sangat menimbulkan strees seperti trauma atar operasi darurat beresiko mengalami krisis addisonian karena terdapatnya supressi jangka panjang korteks adrenal. Karena itu kondisi penderita harus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi hipotensi , denyut nadi yang lemah dan cepat, ppucat kelemahan yang ekstrim. Pasien tersebut meungkin memerlukan pemberian infus cairan dan elektrolit serta terapi kortikosteroid.
Pasien yang mengalami trauma atau memerlukan operasi darurat memerlukan kadar kortikosteroid tambahan sebelum, selama dan setelah terapi atau operasi. Jika terjadi krisis addisonian pasien harus mendapat pengobatan untuk mengatasi kolaps sirkulasi dan syok. Identifikasi faktor-faltor yang dapat menybebkan krisis tersebut harus diupayakan.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Status cairan dan eletrolit dipantau dengan mengukut berat badan pasien setip hari. Karena meningkatnya resikountuk mengalami intoleransi glukosa dan hiperglikemia, maka pemantauan glukosa darah harus dinilai setiap kenaikan kadar glukosa darah harus dimulai detiap kenaikan dilaporkan kepada dokter sehingga terapi dapat diberikan jika diperlukan.
Menurunkan risiko cedera dan infeksi
Lingkungan yang amanharus diciptakan untuk mencegah kecelakaan seperti terjatuh, fraktur dan berbagai cedera lain pada tulang serta jaringan lunak. Pasien yang sangat lemah mengkin memerlukan bantuan dan mobilisasi untuk mencegah jatuh dan membentur pada tepi perabot yang tajam.
Pertemuan dengan pengunjung, staff atau pasie yang menderita infeksi haarus dihindari. Penilaina kondisi pasien harus sering dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda infeksi yang tidak jelas, mengingat efek anti inflamasi dari kort ikosteroid dapat menyamarkan tanda-tanda umum infeksi dan inflamasi. Makanan yang tinggi protein, kalsium dan vitamin D harus dianjurkan untuk memperkecil kemungkinan pelisutan otot dan osteoporosis.
Rjukan kepada ahli diet dapat membantu pasien untuk memilih jenis-jenis makanan dan lalori.
Persiapan mengahadapi praoperatif
Pasien dipersiapkan untuk menjalani adrenalektomi, jika diperlukan, dan untuk perawatan pasca operasi, jika sindrom cushing merupakan kosekuensi dari tumor hipofisis, tindakan hipofisektomi transfenoidalis dapat dilakukan. Siabetes mellitus dan ulkus peptikum umumnya terjadi pada pasien sindrom cushing, dengan demikian pelaksanaannya harus mencakup pemantauan kadar glukosa darah serta pemeriksaan darah dalam feses, serta intervensi yang tepat.
Menganjurkan istirahat dan aktivitas
Kelemahan, perasaan mudah lelah dan pelisutan otot akan menyulitkan penderita sindrom cushing dalam melaksanakan aktivitas yang normal, aktivitas yang ringan harus dianjurkan untuk mencegah komplikasi akibat imobilisasi dan meningkatkan rasa percaya diri. Insomnia sering turut menimbulkan rasa cepat lelah yang dikeluhkan pasien. Waltu istirahat perlu direncanakan dan diatur intervalnya sepanjang hari. Lingkungan yang tenang dan rileks untuk istirahat tidur harus diupayakan.
Meningkatkan perawatan kulit
Penigkatan perawatan kulit yang cermat untuk menghindari trauma pada kulit pasien yang rapuh. Penggunaan plester perlu dihindari karena dapat menimbulkan irirtasi kulit dan luka pad kulit yang rapuh ketika plaster itu dilepas. Daerah tonjolan tulang dan kulitnya harus sering diperiksa dan pasien danjurkan serta dibantu untuk mengubah posisi dehingga kerusakan kulit dapat dicegah.
Memperbaiki citra tubuh
Jika penyebab sindrom cushing dapat ditangani dengan baik, perubahan fisik lain yang penting juga akan menghilang pada saatnya. Meskipun demikian, akan sangat memmbagtu apabila pasien diberi penjelasan tentang dampak yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut terhadap konsep diri dan hubungannya dengan orang lain. Kenaikan berat badan dan edema yang terlihat pada sindrom cushing dapat dimodifikasi dengan diet rendah karbohidrat rendah natrium. Asupan protein yang tinggi dapat mengurangi sebagian gejala lain yang mengganggu.
Memperbaiki proses pikir
Penjelasan kepada pasien dan anggota keluarga mengenai penyabab ketidak stabilan emosi amat penting dalam membantu mereka untuk mengatasi fluktuasi emosi, irritabilitas serta depresi yang terjadi. Perilaku psikotik dapat dapat dijumpai pada beberapa pasien dan harus dileporkan. Pasien dan anggota keluarga perlu didorong utuk mengungkapkan perasaannya. (Susanne c. smeltzer, buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner Suddart, Hal1331)

EVALUASI
Hasil yang diharapkan:
1.menurunkan resiko cedera dan infeksi
a.Bebas fraktur atau cedera jaringan lunak.
b.Bebas daerah ekimosis.
c.Tidak mengalami kenaikan suhu, kemerahan, rasa nyeri ataupun tanda-tanda lain infeksi serta inflamasi.
2.meningkatkan partisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri.
a.Merencanakan aktivitas perawatan dan latihan untuk memungkinkan periode istirahat.
b. Melaporkan perbaikan perasaan sehat.
c.Bebas komplikasi mobilitas.
3.mencapai/mempertahankan integritas kulit.
a.Memiliki kulit yang utuh tanpa ada bukti adanya luka atau infeksi.
b.Menunjukkan bukti berkurangnya edema pada ekstremitas dan badan.
c.Mengubah posisi dengan sering dan memeriksa bagian kukit yang menonjol setiap hari.
4.mencapai perbaikan citra tubuh.
a.Mengutarakan perasaan tentang perubahan penampilan, fungsi seksual dan tingkat aktivitas.
b.Mengungkapkan kesadaran bahwa perubahan fisil merupakan akibat dari pemberian kortikosteroid yang berlebihan.
5.memperlihatkan perbaikan fungsi mental.
6.tidak adanya komplikasi.
a.Memperlihatkan tanda-tanda vital serta berat badan yang normal serta bebas dari gejala krisis sddisonian.
b.Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala hipofungsi korteks adrenal yang harus dilaporkan dan menyatakan tindakan yang akan diambil pada keadaan salit serta stress berat
c.Mengidentifikasi strategi untuk memperkecil komlikasi sindrom cusing.
d.Mematuhi anjuran untuk pemeriksaan tindakan lanjut.
(Susanne c. smeltzer, buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner Suddart, Hal1331)

BERDASARKAN PENYIMPANGAN KDM DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI YANG DIRENCANAKAN
1.Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan muskuloskeletal, integumen, dan seksual reproduksi
intervensi:
Pertahankan lingkungan kondusif untuk membicarakan proses perubahan citra tubuh
Diskusikan perasaan yang berhubungan dengan perubahan yang dialami oleh pasien
Kaji pasien dengan mengidentifikasi dan mengembangkan kekuatan personal serta mekanisme koping untuk mengatasi masalah perubahan fisik
Berikan informasi tentang kemungkinan dapat pulihnya gejala pada perubahan fisik.
Kaji cara berpakaian untuk meningkatkan higiene personal, tindakan pemotongan bulu, rambut, pakaian yang menarik
Hargai keinginan pasien untuk privacy
Bersikap sensitif terhadap kebutuhan.
Buat waktu luang untuk setiap shift untuk mendengarkan secara aktif dan dukungan emosi
Konsulkan kepada ahli keperawatan jiwa.
Hasil yang diharapkan/evaluasi
Membicarakan perasaan tentang perubahan dalam penampilan
Mengungkapkan pengetahuan bahwa gejala kekambuhan akan terjadi dengan pengobatan
Melakukan higiene harian
Meningkatkan penampilan melalui penggunaan kosmetik yang bijaksana dan pakaian yang sesuai.
2.Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan respon imun
intervensi:
Pantau suhu tubuh dan tanda dan atau gejala infeksi lainnya setiap 4 jam
Intruksikan pasien berbalik, batuk dan nafas dalamsetiap 2 jam sementara tirah baring
Hindari proses invsif yang tidak diperlukan (pemasangan kateter urine)
Gunakan tekhinik sterilketika menangani semua lesi kulit, slang drain, atau sisi pungsi intara vena
Lakukan pemeriksaan kultur pada luka atau sekresiyang mencurigakan
Pertahan kan status nutrisi yang adekuat
Hindari penempatan pasien dalam ruangan dengan orang lain yang secara potensial dapat menulari pasien.
Hindari personil dengan ispa atau infeksi lain untuk memberikan perawartan pada klien, pantau pengunjung terhadap tanda infeksi dan batasi sesuai kebutuhan , atau ajarkan cara mencucitangan dan menggunakan masker sebelum berkunjung
Hasil yang diharapkan
Suhu tubuh dalam batas normal; tidak terdapat infeksi pada integumen, pernafasan, dan sistem ginjal.
3.Potensial untuk terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan mudah rusaksnya kapiler atau penipisan kulit
intervensi:
Kaji terhada kemerahan atau kerusakanan kulit setiap 8 jam, bila pasien menjalanai tirah baring kaji setiap 4 jam
Berikatan perawatan kulit perawatan kulit pada titik tekanan setiap 4 jam sesuai kebutuhan
Gunakakan minyak atau solluision untuk air mandi, bilas dan keringkan dengan baik
Hindari penggunaan sabun yang keras dan handuk yang kasar
Baringkan pasien pada matras atau tempat anti decubitus
Bantu dan berikan dorongan pasien untuk mengubah posisi dengan sering, ajarkan dan bantu pasien saaat melakukan rentang gerak, ambulasi sesering mungkin, instruksikan klien untuk hindari duduk lebih dari 1 jam.
Hasil yang diharapkan / rasional:
Kulit tetap ututh tanpa bukti-bukti kemerahan.
4.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan muskuloskeletal karena peningkatan katabolisme protein
intervensi :
Biarkan pasien sesuai keiinginannya, gunakan pagar tempat tidur dan trapez diatas kepala
Selingi aktivitas dengan waktu istirahat untuk membantu peningkatan toleransi
Kaji dan berikan bantuan untuk ambulasi (alat bantu jalan, tulang) sesuai kebutuhan
Antisipasi kebutuhan akan bantuan dengan aktivitas sehari-hari, berpakaian, toileting, memberikan makanan,memebrikan barang-barang, yang dibutuhkan dalam jangkauan yang mudah untuk diraihuntuk mengurangi penggunaan energi
Batasi aktivitas sampai tingkat toleransi pasien.
Hentikan aktivitas pada saat pertama kali terlihat tanda intoleran, Takikardi, dyspnea, kelelahan.
Beilan dorongan untuk meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, tetapi mencaribantuan bila terjadi gejala intoleran.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Meningkatkan keiikut sertaan dalam perawatan diri dan aktivitas sehari-hari.
Melaporkan berkurangnya perasaan kelemahan/ keletihan.
5.Perubahan proses berfikir berhubungan dengan kelebihan sekresi kortisol
intervensi:
evaluasi metode koping yang lalu dan saat ini.
Berikan dorongan untuk membicarakan tentang perasaan kehilangan kontrol.
Diskusikan reaksi yang melewati batas terhadap peristiwa dan metode untuk koping selanjutnya.
Jelaskan bahwa lonjatan alam perasaan tersebut dapat diatasi dengan pengobatan.
Ajarkan dan bantu dalam melakukan teknik relaksasi.
Beikan lingkungan yang tenang, stabil dan tanpa stress.
Konsisten dengan waktu dan saat melaukuan aktivitas dan prosedur.
Batasi pengunjung sesuai dengan kepentingan.
Cegah situasi yang dapat menyebabkan kemarahan emosisonal.
Rencanakan perawatan dengan pasien antisipasi kebutuhan.
Orientsikan pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan.
Jelaskan prosedur dengan lambat dan jelas, ulangi bila perlu.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Pasien sadar dan berorintasi
Membicarakan perasaan dengan mudah.
Mengenali respon yang tidak sesuai terhadap situasi dan mebicarakan rencana untuk menagani respon tersebut.
6.Kelebihan volume cairan sehubungan dengan sekresi kortisol yang berlebihan menyebakan retensi air dan natrium
intervemsi:
pantau terhadap nilai-nilai elektrolit setiap 4 jam sampai 8 jam dan laporkan temuan abnormal pada dokter.
Pantau madukan dan haluaran setiap 4 jam
Timbang berat badan pasien setiap hari. Pada waktu yang sama, laporkan prningkatan berat badan.
Hindari masukan cairan yang berlebihan bila pasien mengalami hipernatremia.
Pantau EKG terhadap abnormalitas yang berhubungan dengan ketidak seimbangan elektrolit, biasanya hipernatremia dan hiper kalemia.
Pantau tekanan darah , nadi dan bunyi nafas setiap 4 jam laporkan perubahan yang signifikan dari nilai dasar pasien.
Kaji area edema dependen.
Berikan perawatan kulituntuk erea yang mengalami edema, balikkan dan ubah posisi setiap 2 jam.
Pertahankan diet tinggi protein, tinggi kalium, rendah natrium, mengurangi kalori.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Tanda-tanda vital dan elektrolit dalam batas normal untuk pasien, masukan dan haluaran seimbang, berat badan stabil dan dalam batas normal bagi pasien, tidak ada bukti adanya edema.
7.Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakit, pengobatan dan perawatan diri.
Intervensi:
Jelaskan konsep dasar tentang penyakit .
Diskusikan alasan terjadinya perubahan fisik dan emosional.
Diskusikan dan berikan informasi tertulis tentang diiet rendah natrium.
Jelaskan pentingnya mempertahankan lingkungan yang aman dan keseimbagan aktivitas dan istirahat.
Ajarkan nama obat-obatan , dosis, waktu dan cara pemberian, tujuan, efek samping dan efek toksik.
Jelaskan pelunya menghindari obat yang dijual bebas tanpa mengkonsultadikan dengan dokter.
Tekankan pentingnya melakukan perawatan rawat jalan berkelanjutan.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Pasien orang terdekat mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, perinsip perawatan dirumah dan perawatan tindak lanjut, dan rencanakan terapi radiasi atau operasi.

DAFTAR PUSTAKA
R. Syamsuhidayat Buku Ajar Ilmu Bedah; EGC; Jakarta; 1997.
Sylvia A. Price; Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit ; EGC; Jakarta; 1994
Susanne C. Smeltzer; Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddart; EGC; Jakarta; 1999.
Susan Martin Tucker;Standar Perawatan Pasien; EGC; jakarta

WSD

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Mekanisme pernapasan normal bekerja atas prinsip tekanan negative yaitu tekanan dalam rongga dada lebih rendah daripada atmosfir, sehingga menyebabkan udara untuk bergerak kedalam inspirasi. Penumpukan cairan, udara atau substansi dada dapat menggagu fungsi kardiopulmonal dan bahkan menyebabkan paru kolaps. Substansi patologis yang terkumpul dalam spasium pleura termasuk fibrin, atau bekuan darah ; cairan ( cairan serosa, darah, pus, kilus ; dan gas-gas ( udara dari paru , pohon trakeobronkial atau esophagus ) udara dan cairan terkumpul dalam spasium intrapleural, sehingga membatasi ekspansi paru dan mengurangi pertukaran gas. Penting artinya untuk menjaga agar spasium pleural di evakuasi pada pascaoperatif dan untuk mempertahankan tekanan negatip di dalam ruang potensial ini karenanya, selama atau segera setelah bedah toraks, kateter dada di letakkan secara strategis dalam rongga pleura, di jahitkan kekulit, dan dihubungkan ke aparatus drainase, untuk membuang udara residual dan mengalirkan cairan dari pleura atau spasium mediastinal. Tindakan ini mengakibatkan reekspansi jaringan paru yang tersisa.
Intervensi penting untuk memperbaiki pertukaran gas dan pernapasan pada periode pascaoperatif adalah peƱatalaksanaan yang sesuai dari drainase dada. Setalah bedah toraks, selang dada dan system drainase tertutup digunkan untuk mengembangkan kembali paru yang sakit dan untuk membuang kelebihan udara, cairan, dan darah.

I.2. Perumusan masalah
I.2. 1. Mengetahui gambaran peralatan
II.2. 2. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari system drainase dada
III.2 3. Mengetahui indikasi pemasangan dan prosedur WSD
IV.2. 4. Hal apa saja yang dipantau dalam water – seal & drainase

BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Gambaran peralatan
WSD adlah suatu selang drainase intrapleural yang digunakan setelah prosedur intralocal.
1.Selang dada
Kebanyakan selang dada adalah multifmestrasi, selang transparan dengan petunjuk tanda radio pague dan jarak. Selang dada dikategorikan sebai pleural atau mediastinal tergantung pada lokasi ujung selang . Pasien dapat dipasang lebih dari satu selang pada lokasi yang berbeda tergatung tujuan selang. Semua selang dada ditangani sebagai selang intrapleural untuk keamanan pasien . Selang yang lebih besar ( 20 -36 French) digunakan untuk mengalirkan darah atau drainase pleural yang kental. Sedangkan selang yang lebih kecil ( 16 – 20 French ) digunakan untuk membuang udara.
2.Sistem drainase
Sistem drainase bekerja sebagai drain untuk udara dan cairan. Untuk membuat tekanan negative intrapleural, sebuah segel diperlukan pada selang dada untuk mencegah udara luar masuk ke system. Cara paling sederhana untuk melakukan ini yaitu dengan menggunakan system drainase dalam air.
3.Sistem satu - botol
Sistem drainase dada paling sederhana adalah system satu - botol. System ini terdiri dari satu - botol dari penutup botol. Penutup mempunyai dua lubang. Satu untuk ventilasi udara dan lainnya memungkinkan selang masuk sampai dasar botol. Ujung selang drainase dari dada pasien dicelupkan dalam air, yang memungkinkan drainase dan cairan dari ruang pleural tetapi tidak memungkinkan udara untuk mengalir kembali kedalam dada. Secara fungsional drainase tergantung pada gravitasi dan pada mekanisme pernapasan . Dengan naiknya ketinggian cairan dalam botol maka menjadi lebih sulit bagi udara dan cairan untuk keluar dari dada. Karenanya dapat ditambahkan pengisap.
4.Sistem dua - botol
Pada system dua - botol, Botol pertama adalah sebagai wadah penampung, dan yang kedua bekerja sebagai water - seal. Pada system dua - botol penghisapan dapat dilakukan pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya dengan ventilasi udara.
Sistem dua - botol terdiri atas bilik water – seal yang sama ditambah dengan botol pengumpul cairan. Drainase mirip dengan unit tunggal, kecuali bahwa ketika cairan pleural terkumpul, system seal dibawah air tidak terpengaruh oleh volume drainase. Drainase yang efektif tergantung pada gaya grafitasi atau pada jumlah isapan yang ditambahkan pada isapan. Ketika vakum (isapan) ditambahkan dalam system dari sumber vakum, seperti pengisapan dinding hubungan dibuat pada batang pean dari botol underwater – seal. Jumlah isapan yang diterapkan pada system diatur oleh diameter dinding.
5.Sistem tiga - botol
Sistem tiga - botol serupa dengan dalam semua aspek dengan system dua – botol, kecuali untuk botol - ketiga untuk mengontrol jumlah isapan yang diberikan. Jumlah isapan yang diberikan. Jumlah isapan ditentukan oleh kedalaman sampai mana ujung tabung kaca dicelupkan. ( sebagai contoh, pencelupan sampai sepuluh dibawah permukaan air akan sama dengan 10 cm isapan air yang diterapkan pada pasien).
Pada system tiga – botol, drainase tergantung pada gaya gravitasi atau jumlah isapan yang diberikan. Jumlah isapan pada system Ini dikendalikan oleh botol manometer. Motor pengisap mekanis atau pengisap pada dinding menciptakan dan mempertahankan tekanan negatip diseluruh system drainase tertutup. Botol ketiga mengatur jumlah vakum dalam system . Hal ini tergantung pada sejauh mana selang dicelupkan – kedalaman yang lazim adalah 20 cm. Bila vakum dalam system menjadi lebih besar dari kedalaman dimana selang dicelupkan, udara luar akan terisap kedalam system. Hal ini mengakibatkan penggembungan konstan dalam botol manometer ( pengatur tekanan), yang menunjukkan bahwa system berfungsi dengan baik.
6.unit drainase sekali pakai
II. 2 . Keuntungan dan kerugian system drainase selang dada.
satu – botol
Keuntungan : Penyusunan sederhana mudah untuk pasien yang dapat jalan
Kerugian ;
- Saat drainase dada mengisi botol , lebih banyak kekuatan diperlukan untuk memungkinkan udara dan cairan pleural untuk keluar dari dada masuk ke botol.
- Campuran darah drainase dan udara menimbulkan campuran bua dalam botol yang membatasi garis pengukuran drainase.
- Untuk terjadinya aliran, tekanan pleural harus lebih tinggi dari tekanan botol.
dua – botol
Keuntungan : - Mempertahankan water - seal pada tingkat konstan.
- Memungkinkan observasi dan pengukuran drainase yang lebih baik.
Kerugian ; - Menambah area mati pada system drainase yang mempunyai potensial untuk masuk kedalam area pleural.
- Untuk terjadinya aliran, tekanan pleural harus lebih tinggi dari tekanan botol.
- Mempunyai batas kelebihan aliran udara pada adanya kebocoran pleural.
 tiga – botol
Keuntungan : Sistem ini paling aman untuk mengatur penghisapan
Kerugian : Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan dan pemeliharaan.
 unit water seal sekali pakai
Keuntungan ; Plastik dan tidak mudah pecah seperti botol
Kerugian ; - Mahal
- Kehilangan water seal dan unit drainase bila unit terbalik.
II. 3. Indikasi pemasangan dan prosedur WSD.
 Indikasi pemasangan
1.hemotoraks yang disebabkan oleh ( trauma dada, neoplasma, robekan pleural, kelebihan anti koagulan dan pascabedah toraks )
2.pneumotoraks spontan : >20 % pada pasien simtomatik dan adanya penyakit paru, yang disebabkan oleh rubtur bleb.
3.Desakan yang disebabkan oleh (ventilasi mekanis, luka tusuk tembus,klem selang dada terlalu lama, dan kerusakan segel pada system drainase selang dada).
4.Pistula bronkopleural yang disebakan oleh ( kerusakan jaringan, tumor, dan aspirasi bahan kimia toksik).
5.Epusi pleural yang disebabkan oleh neoplasma.
6.chilotoraks yang disebabkan oleh ( trauma, malignansi, dan abnormalitas congenital).
Adapun tujuan pemasangan WSD :
1.Diagnostik, untuk menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak sebelum penderita jatuh dalam renjatan.
2.Terapi,untuk membuang darah, udara dan cairan yang terkumpul dalam rongga pleura. Untuk mengembalikan tekanan negative pada area pleural, untuk memungkinkan ekspansi paru dan memulihkan fungsi kardiopulmonal setelah pembedahan, trauma, atau kondisi medis.
3.preventif : untuk mengeluarkan udara atau darah yang masuk kerongga pleura sehinga mekanisme pernapasan tetap baik, dan untuk mencegah repluks drainase kembali kedalam dada.
Alat dan Prosedur WSD
Alat
1.system water seal
•Air steril atau normal salin untuk menutup 2,5 cm bagian bawah selang –u water seal.
•Air steril atau normal saling dituangkan kedalam bilik control penghisap bila digunakan penghisap.
2.system water less.
•Vial NaCl atau air 30 ml yang dapat diinjeksikan.
•Spuit 20 ml.
•Jarum 21-G.
•Swab antiseptic
3.selang dada atau tray tokar
•1pemegang pisau
•Klem selang dada
•Tray liner (area steril)
•Spon 4x4, 10 buah
•Gunting jahithanduk tangan 3 buah • Forsep spon kecil
•Pemegang jarum
•Mata pisau
•Benang silk 3-0
•Tray liner (area streril)
4.balutan
5.penutup kepala
6.masker wajah
7.sarung tangan steril
8.dua hemostat shodded untuk masing-masing selang dada
9.plaster perekat 1 inci untuk memplester penghubung.
Prosedur
1.kaji status kardiopulmunal klien, nyeri, ansietas, dan tanda-tanda vital.
Rasional ; Memberikan data kontinyu status klie sebelum, selama, dan setelah prosedur selang dada
2.Jelaskan prosedur kepada klien
Rasional ; Mengurangi ansietas dan meningkatkan kerja sama klien.
3.Mencuci tangan
Rasional : Mengurangi transmisi mikroorganisme
4.Mengisi bilik water – seal denagn air steril sampai ketinggian yang sama dengan
2 cm H20
Rasional ; Drainase water – seal memungkinkan untuk keluarnya udara dan cairan kedalam botol drainase. Air berfungsi sebagai segel dan menjaga udara agar tidak tertarik kembali kedalam ruang pleural.
5.Jika digunakan pengisap, isi bilik control pengisap dengan air steril sampai ketinggian 20 cm atau sesuai yang diharuskan.
Rasional : Ketinggian air akan menentukan derajat pengisap yang digunakan.
6.Sambungkan keteter drainase dari ruang pleural (pasien) ke selang yang datang dari bilik pengumpul dari system water –seal, plester dengan baik.
Rasional : Pada unit sekali pakai, system tersebut adalah system tertutup, dengan satu-satunya hubungan ke kateter pasien.
7.Jika digunakan pengisap, hubungkan selang bilik control pengisap ke unit pengisap. Nyalakan unit pengisap dan naikkan tekanan sampai timbul gelembung secara lambat namun tetap dalam bilik control pengisap.
Rasional : Tingkat pengisapan ditentukan oleh jumlah air dalam bilik control pengisap dan bukan tergantung pada frekuensi gelembung atau pada pengesetan diameter tekanan pada unit pengisap.
8.Tandai ketinggian cairan awal pada bagian luar unit drainase. Tandai peningkatan setiap jam per hari (tanggal dan waktu) pada ketinggian drainase. Rasional :Penandaan ini akan memperlihatkan jumlah kehilangan cairan dan berapa cepat cairan dikumpulkan dalam botol drainase. Cairan yang terkumpul ini berfungsi sebagai dasar untuk penggantian darah, jika cairan tersebut adalah darah. Keseluruhan darah yang mengalir akan tampak dalam botol pada periode pascaoperatip segera, drainase ini secara bertahap akan menjadi serosa dan jika terlalu banyak dapat membutuhkan operasi ulang atau autotransfusi.
9.Pastikan bahwa selang tidak menggulung atau menganggu gerakan pasien.
Rasional : Kekusutan, gulungan, atau tekanan pada selang drainase dapat menghasilkan tekanan balik, dan dengan demikian kemungkinan dapt mendorong drainase kembali ke dalam ruang pleural atau mengganggu drainase dari ruang pleural.
10.Berikan dorongan pasien untuk mencari posisi yang nyaman. Berikan dorongan untuk mengambil posisi kelurusan tubuh yang baik. Jika pasien berbaring dalam posisi lateral, pastikan bahwa selang tidak tertekan oleh berat badan pasien. Berikan dorongan pada pasien untuk mengubah posisi dengan sering.
Rasional : Posisi pasien harus diubah dengan sering untuk meningkatkan drainase, dan tubuh harus dijaga dalam kelurusan yang baik untuk mencegah deformitas dan kontraktur. Posisi yang baik membantu pernafasan dan meningkatkan pertukaran gas yang lebih baik.
11.Lakukan latihan rentang gerak untuk lengan dan bahu dari sisi yang sakit beberapa kali sehari. Obat nyeri tertentu mungkin diberikan.
Rasional : Latihan membantu mencegah ankilosis bahu dan membantu dalam mengurangi nyeri dan rasa tidak nyaman paskaoperatip.
12.Dengan perlahan “perah” selang dengan arah bilik drainase sesuai kebutuhan.
Rasional : “Memerah” selang mencegahnya menjadi tersumbat dengan bekuan atau fibrin. Perhatian yang konstan untuk mempertahankan kepatenan selang memudahkan ekspansi cepat paru dan meminimalkan komplikasi.
13.Pastikan adanya fluktuasi (tidaling) dari ketinggian cairan dalam bilik water-seal.
Rasional : Fluktuasi ketinggian air dalam selang memperlihatkan bahwa komunilasi yang efektif antara rongga pleural dan botol drainase, memberikan indikasi yang bernilai tentang kepatenan system drainase, dan merupakan diameter tekanan intrapleural.
14.fluktuasi cairan dalam selang akan berhenti bila ;
Paru telah terekspansi
Selang tersumbat oleh bekuan darah atau fibrin, atau selang kusut.
Terjadi loop dependen.
Motor pengisap atau dinding pengisap tidak bekerja dengan baik.
15.Amati terhadap kebocoran udara dalam system drainase sesuai yang di indikasikan oleh gelembung konstan dalam bilik water-seal.
Rasional : Kebocoran dan terperangkapnya udara dalam ruang pleural dapat mengakibatkan pneumotoraks tension.
16.Observasi dan laporkan dengan segera pernafasan dangkal, cepat., sianosis, tekanan dalam dada, empisema subkutan, gejala-gejala hemoragi, dan perubahan yang signifikan dalam tanda-tanda vital.
Rasional : Banyak manefistasi klinis yang dapat menyebabkan tanda dan gejala ini, termasuk pneumotoraks tension, pergeseran mediastinal, hemoragi, nyeri insisi yang hebat, embolus pulmonal, dan tamponade jantung. Intervensi bedah mungkin diperlukan.
17.Berikan dorongan kepada pasien untuk nafas dalam dan batuk pada interval yang teratur. Berikan obat nyeri yang adekuat. Mintakan pesanan untuk pompa PCA jika diperlukan. Instruksikan dalam penggunaan spirometri insentif.
Rasional : Nafas dalam dan batuk mambantu untuk meningkatkan tekanan intra pleural yang memungkinkan pengosongan segala penumpukan dalam ruang pleural dan membuang sekresi dari pohon trakeobronkial, sehingga paru dapat berkembang dan atelektasis di cegah.
18. Jika pasien harus dipindahkan ke area lain, letakkan system drainase di bawah ketinggian dada, jika pasien berbaring pada brankar. Jika selang terlepas, gunting ujung yang terkontaminasi dari selang dada dan selang, pasang konektur steril dalam selang dada dan selang, dan sambungkan kembali ke system drainase. Jangan mengklem selang dada selama memindahkan pasien.
Rasional : Aparatus drainase harus dijaga pada ketinggian dibawah dada pasien untuk mencegah aliran balik cairan kedalam ruang pleural.
19.Ketika membantu dokter bedah dalam melepaskan selang :
Intruksikan pasien untuk melakukan manuver valsalva dengan lambat dan bernafas dengan tenang.
Selang dada di klem dan dengan cepat dilepaskan.
Secara bersamaan, balutan kecil dipasangkan dan buat kedap udara dengan menutupkan kasa petrolatum dengan bantalan kasa 10 x 10 cm dan tutupi dan rapatkan secara menyeluruh dengan plester adesif.
Rasional :
Selang dada dilepaskan sesuai yang disarankan ketika paru telah mengembang kembali (biasanya 24 jam sampai beberapa hari) tergantung dari penyebab pneumotoraks. Selama penglepasan selang perioritas utama adalah pencegahan masuknya udara kedalam rongga pleural ketika selang ditarik dan pencegahan infeksi.
II. 4. Memantau water – seal dan drainase
Memantau water - seal dari system drainase selang dada sama pentinganya dengan observasi drainase. Pemeriksaan secara visual untuk meyakinkan ruang water –seal terisi air 2 cc. Bila penghisap diberikan, yakinkan garis air pada garis penghisap sesuai dengan jumlah yang diindikasikan. Bila pompa penghisap pleural darurat digunakan, periksa ukuran penghisap, jangan menutup ventilasi udara.
Observasi segel dibawah air terhadap fluktuasi pernapasan. Tidak adanya fluktuasi akan menunjukkan bahwa paru re-ekspansi atau ada obstruklsi pada system. Gelombang yang terus menerus pada water – seal tanpa penghisap dapat menunjukkan bahwa selang telah berubah tempat atau terlepas. Periksa seluruh system terhadap lepasnya alat dan lihat selang dada untuk melihat penempatan diluar dada.
Gelembung yang terjadi 24 jam setelah pemasangan selang dada sehubungan dengan perbaikan pneumotoraks menunjukkan adanya fistula bronkopleural. Ini biasa terjadi pada pengesetan ventilasi mekanis pada volume tidal dan tekanan tinggi.
Perhatikan warna, konsistensi dan jumlah drainase. Gunakan pulpen untuk menandai tingakat system drainase pada akhir jaga dan jadwalkan interval waktu. Waspadai terhadap perubahan tiba – tiba pada jumlah drainase. Peningkatan tiba – tiba menunjukkan perdarahan atau adanya pembukaan kembali obstruksi selang. Penurunan tiba – tiba menunjukkan obtruksi selang atau kegagalan selang dada atau system drainase.
Untuk mengembalikan patensi selang dada, tindakan keperawatan dianjurkan :
Upayakan untuk mengurangi obstruksi dengan perubahan posisi pasien.
Bila bekuan dapat terlihat, regangkan selang antara dada dan unit drainase dan tinggikan selang untuk meningkatkan efek gravitasi.
Pijat dan lepaskan selang secara bergantian untuk melepaskan secara perlahan bekuan kearah wadah drainase.
Bila selang dada terus menerus tetap tersumbat, pembongkaran selang dada dianjurkan. Pembongkaran selang dada rutin tanpa mengevaluasi situasi pasien adalah kontrolversial dan berisiko.
Penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan infeksi dan super infeksi dan komplikasi yang paling serius dari selang dada adalah tegangan pneumatoraks. Bila tidak diatasi mengancam kehidupan. Tegangan pneumotoraks terjadi bila udara masuk keruang pleura selama inspirasi tetapi tidak dapat keluar selama ekspirasi. Proses ini terjadi bila obstruksi pada selang system drainase dada. Semakin banyak udara terjebak pada ruang pleura, tekanan meningkat sampai paru kolaps dan jaringan lunak dalam darah tertekan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III. 1. Kesimpulan
WSD adalah suatu selang drainase yang digunakan setelah prosedur intra torakal.
Alat
•Sistem water – seal * penutup kepala
•Masker wajah * Selang dada oatau trai tokar
•Balutan * Sarung tangan steril
•Seitem water less
Tujuan :
Adapun tujuan pemasangan WSD :
10.Diagnostik, untuk menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak sebelum penderita jatuh dalam renjatan.
11.Terapi,untuk membuang darah, udara dan cairan yang terkumpul dalam rongga pleura. Untuk mengembalikan tekanan negative pada area pleural, untuk memungkinkan ekspansi paru dan memulihkan fungsi kardiopulmonal setelah pembedahan, trauma, atau kondisi medis.
12.preventif : untuk mengeluarkan udara atau darah yang masuk kerongga pleura sehinga mekanisme pernapasan tetap baik, dan untuk mencegah repluks drainase kembali kedalam dada.

III.2. Saran
Dari makalah ini, adapun saran yang dapat penulis sampaikan bahwa
Dengan adanya makalah ini dapat membantu kita dalam melakukan tindakan pemasangan WSD dan bila ada kritik maupun saran dari pembaca dalam membantu
Menambah wawasan, penulis sebelumnya ucapan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
1)Carolyn M.Hudak dan Barbara M. Gallo. keperawatan kritis. Penerbit buku
Kedokteran , Edisi Vi ,Volume 1. Jakarta 1997 .
2)Manjoer , Arif M, dkk. Kapita Selekta Kedoteran . penerbit media aeculapius FKUI Edisi III. Jakarta 2000
3)Brunner & suddarth. Keperawatan Medical Bedah. Penerbit buku Kedokteran
Volume 1 ,EGC. Jakarta 2001